Rabu, 01 Desember 2010

Ketika Tangan Tuhan Bermain.

Di tahun 90an, Seorang pelajar dari pelosok Madura bernama Machfud, menyelesaikan SMA nya dengan nilai yang bagus, Iapun lulus SMPTN dengan pilihan Fakultas Ilmu Kelautan di Institut Pertanian Bogor. Ada tujuan yang ingin digapainya melalui pendidikan kelautan, bila selesai kuliah nanti Machfud ingin kembali kedesanya untuk mengangkat harkat hidup nelayan dikampungnya.

Berbekal duah buah baju, dua buah celana dan uang Rp 50 ribu rupiah yang itupun sumbangan dari kepala desa dan masyarakat setempat. Machfud berangkat menuju Bogor dengan menumpangi Truck yang membawa ikan Asin. Di setiap perhentian Machfud mencuci Truck itu, sebagai pengganti ongkos menaiki truk berisi ikan asin tsb.

Sesampainya di kota tujuan, Ketika ingin mendaftar di IPB, Machfud tak menyadari bahwa ada biaya masuk perguruan tinggi negeri sebesar 800 ribu rupiah namun Machfud bernasib baik. Staf adminstrasi IPB tidak langsung menolaknya tetapi melaporkan kasus ini kerektorat. Berita tentang machfudz yang tidak memiliki uang pendaftaran, namun namanya telah ada sebagai calon mahasiswa yang diterima di kampus ternama itu, terdengar di telinga seorang Alumni IPB bernama Didik.

Didik pun menghubungi seorang temannya seorang perempuan, mantan aktifis yang di masa itu masih bekerja di BPPT, Didik menceritakan tentang Machfud dan meminta teman itu mencarikan bantuan.
Dalam waktu singkat perempuan itu menelpun seorang koleganya dan koleganya tersebut meminta nomor rekening IPB, nama lengkap Machfud juga nomor pendaftarannya.

Dalam sekejab permasalahn biaya pendaftaran terselesaikan, namun wanita itu terkesima ketika Machfud menghadapnya untuk mengucapkan terimakasih, Machfud meminta uang tersebut di jadikan sebagai pinjaman bukan sumbangan yang akan dibayarnya setelah ia dapat bekerja.

Akan tetapi masalah lain belumlah usai, uang yang di bawanya sebesar lima puluh ribu tidak cukup untuk biaya kos dan makan hari hari. Machfud mengurungkan niatnya untuk mendapatkan rumah kos, Iapun mencari Masjid yang dapat disinggahinya untuk dapat tidur dimalam hari.
Dengan berbekal perjanjian sederhana dengan pengurus Masjid yaitu mengajar anak anak mengaji di sore hari di Masjid tersebut jadilah Masjid itu menjadi tempat tinggalnya selama kuliah.

Bila perkuliahan selesai, ia mengelilingi perumahan dosen IPB menawarkan bantuan untuk mencuci mobil, dengan kerja serabutannya Machfud mendapat tambahan untuk biaya hidup sehari hari.

Musibah seringkali datang dari pintu yang tidak kita ketahui, tiba tiba saja datangnya, demikian pula rezeki sering kali datang dari pintu yang tidak terduga. Tuhan memiliki banyak cara untuk menolong hambanya maupun memperingati hambanya.
Sebuah mobil tiba tiba tidak bisa dinyalakan mesinnya, dan Machfud yang berada didekat mobil tersebut tanpa meminta jasa dari pengemudinya membantu mendorong mobil tersebut hingga bisa di nyalakan kembali.

Pemilik mobil tersebut mengucapkan terimakasih dan bertanya dimana Machfud tinggal. Dalam percakapan singkat setelah mengetahui siapa orang yang menolongnya, pemilik mobil yang ternyata seorang perwira militer, memiliki rumah Kos untuk mahasiswa IPB yang kebetulan sedang tidak memiliki pengawas. Jadilah Machfud menempati rumah kos tersebut dengan gratis sambil bekerja mengawasi rumah yang ditempati para mahasiswa.

Dalam satu bulan sekali Machfud menyempatkan dirinya untuk berdialog dengan perempuan yang menolongnya sewaktu pertama memasuki kampusnya. Dia meminta wanita itu sebagai pembimbingnya untuk memberikan dia nasehat selama dalam proses perkuliahan.

Wanita itu menyarankan untuk Machfud bisa mengusai bahasa inggeris, satu bulan kemudian Machfud melapor bahwa dia tidak ikut les bahasa inggeris yang biayanya mahal dalam ukuran kantongnya, tapi dia mengikuti club bahasa inggeris yang di buat oleh para mahasiswa. Setiap bulan selalu saja ada progres dari mahasiswa yang berasal dari desa itu untuk meningkatkan kemampuan dirinya, bila bulan lalu dia ikut club bahasa maka bulan kemudian dia sudah mulai belajar menggeluti komputer yang caranya tentu saja dengan berbagai usaha yang tidak mudah.

Dalam kunjungan yang rutin sebulan sekali itu Machfud datang kali ini bukan saja untuk berbincang dan meminta nasehat dari seorang perempuan yang masih berstatus pegawai di BPPT, namun Machfud memilki niat lain. Machfud datang dengan senyum gembira dan berkata, "ibu, ijinkan saya hari ini melunasi hutang saya tiga tahun lalu."

Waktupun berlalu Machfudpun tidak terdengar beritanya lagi, ia tidak berambisi menjadi "seseorang" dikota besar, dia kembali kekampungnya bukan hanya dengan gelar sarjana ilmu kelautan tapi ia pulang dengan gelar S3 (Doktor bidang kelautan) , yang diabdikannya pengetahuannya itu untuk masyarakat di desanya.


( Di sarikan dari cerita seorang teman bernama Tatat Rachmita Utami.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar