Minggu, 06 Desember 2009

Dan Mia Pun Menikah.

Matahari pagi menghampirimu, henna memenuhi tanganmu dan senyum diwajah semua orang yang memandangmu.

Menjelang hari bahagia. Mamah, halati, amati, Jiddah, saudara sepupu dan semua kerabat wira wiri dalam kesibukan yang super super sibuk diantara rangkaian bunga bunga, kueh kueh yang berjajar, puluhan piring dan gelas yang harus ditata dengan baik dan apik, ada canda ria dan riuh rendah suara tawa diantara para wanita.

Hari menjelang pernikahan sebuah tradisi bernama "malam pacar" dipersiapakan dan digelar yang tak ubahnya seperti malam melepas seorang gadis. Ada senyum bahagia ada canda teman sebaya.
Mia si cantik yang teriakannya jarang diindahkan oleh empat "adik" laki laki sepupunyanya. Tapi juga yang pertama diingat bila mereka bepergian untuk sebuah oleh oleh. Yang permintaannya tidak pernah ditolak bila sesekali Mia meminta ditemani menonton film ataupun belanja ke pasar.

Mia yang lembut hatinya terlalu baik untuk menyatakan kemarahan. Tegurannya hanya membuat anak anak laki bandel cuma tersenyum. Mia si pemilik tangan yang menjadi rebutan anak anak kecil untuk dipeluknya. Yang dengan cepat berdiri bila melihat neneknya yang dipanggilnya Umi bangun dari tidurnya atau dari tempat duduknya, mengantarnya kekamar mandi maupun mengambil makanan atau meminumkannya obat.
Lebih memilih melaksanakan kewajiban tapi tak banyak memilki tuntutan.
Mia lebih memilih pulang kerumah untuk melihat Uminya ketimbang berpergian dengan teman selepas kuliah.

Sabtu 14 november, tenda telah terpasang bangku bangku telah dijajarkan bunga bunga tersusun indah diberbagai sudut ruangan seperangkat alat musik dipanggung telah disiapkan.
Tamupun berdatangan memunuhi semua sudut ruangan di malam tradisi bernama malam pacar.

Ketika riasan pengantin telah selesai calon mempelai menuruni tangga untuk menemui para undangan, Luthfi sang adik sepupunya menuntunnya turun mengantarnya ke bangku yang sudah disiapkan. Ada getar hebat didada ibu mereka berdua maupun para kerabat dekat. Mereka faham hari hari yang mereka jalani selama bertahun tahun semenjak kanak kanak sampai mereka dewasa, Mia yang masih dikelas satu SMP menangis ketika adiknya itu terluka. Mia menghiburnya mengajaknya bicara merayunya untuk sesuap makanan ketika berhari hari Upi kecil sakit dan tak mau makan secuilpun. Menemaninya ketika empat adik sepupunya itu takut untuk dikhitan.

Ada pepatah mengatakan "memiliki anak perempuan ibarat memegang bara api." Para orang tua merawat anaknya dengan baik membesarkannya menyekolahkannya mengajarkan akhlak dan agama dan ketika anak itu dewasa, Orang tua berharap anak perempuannya mendapat suami yang baik yang bertanggung jawa dan menyayangiya seperti mereka merawatnya. Bukan suami yang suka menghinakan apa lagi yang ringan tangan.

Ada rasa sukur melepaskan seorang anak perempuan dari "pintu depan" diminta dan di lamar dengan cara yang baik oleh juga orang yang ber akhlak baik. Akan tetapi suasana batin tak bisa dibohongi melepas anak perempuan tak ubahnya seperti melepas belahan jiwa.

Ada banyak canda dikalangan kaum lelaki untuk berkata : "jangan takut dengan harim" (Isteri) dengan pemahaman yang "ekstreem." Dibalik kata kata itu ada kesan kesombongan ada kesan dominasi ada kesan power full tapi ada yang terlupa, dibalik kata yang mengandung pelecehan itu sadar atau tidak juga melecehkan bagian dari ibunya sendri.

Malam Pacar atau malam melepas Mia, satu persatu para orang tua bergantian menaruh daun pandan di telapak tangannya, para tante dan kerabatnya bergantian memberikan hadiah dan ditengah suasana itu, keempat adik laki laki sepepupunya.... Maju kedepan melewati para ibu yang duduk berkerumun .. salah satunya memegang sebuah kotak lalu kotak itu dibuka berisi sebuah jam tangan cantik... Tak ada yang tahu kapan membelinya dan dimana mereka membelinya, karena hadiah itu merupakan hasil patungan dari uang jajan yang mereka kumpulkan dihari hari kemarin untuk seorang kaka yang sangat mereka sayangi.

Kamis, 22 Oktober 2009

Ulang Tahun (sebuah Memoar)

Rabu pagi 18 Oktober … Suara sirene dari sebuah TOA berbunyi keras, yang merupakan tanda bagi semua pendukung demonstrasi untuk segera menggembok seluruh tangga untuk naik kekelas dilantai atas, Seluruh perkuliahan yang sedang berlangsung dibubarkan, Mahasiswa pun terkurung mereka yang berada diatas tak bisa turun.

Hari ini adalah hari yang sudah lama dipersiapkan setelah berkali kali gagal dilaksanakan. Hari solidaritas untuk Bursah Zarnubi ketua senat Fakultas Ekonomi (ketua Partai Bintang Reformasi saat ini.) yang dipecat dari kampus akibat menggerakkan demo terus menerus menuntut penurunan uang kuliah.

Dijaman gelap ketika kekuasaan tirani Soeharto menggurita yang di dukung penuh oleh sang Jendral Beni Moerdani sebagai Pangab, maka sekecil apapun sebuah pergolakan mahasiswa akan menjadi masalah dan tokohnya harus ditangkap.

Tetapi demo itu bukan demo politik bukan pula demo menentang azas tunggal Pancasila yang ingin di terapka dimasa itu. Dimana azas islam dalam setiap organisasi harus berganti dengan ber azas pancasila. Namun walaupun demikian puluhan Tentara berdiri sejajar diluar kampus dan siap menyerbu.
Kampus yang pengab tak ada kebebasan bahkan laksuspun mengikuti perkuliahan sambilan selain mengambil gelar sekaligus juga memata matai pergerakan Mahasiswa.

Adalah Erlangga, Egie Sujana, Ms Kaban (Mantan Menhut), Toni Ardi, mengajarkan NDP, dan doktrin doktrin perlawanan. Kekuasaan Tiran, Zholim yang mencengkram kebebasan Umat harus di lawan. Dengan seperangkat ayat ayat Qur,an berisi tentang Jihad dan Azab Allah pada penguasa, bahkan memakai Jilbab pun bagi siswi SMA terlarang di masa itu sanksinya adalah pemecatan.

Maka demo itu tak lagi beskala internal kampus dalam pemikiran para Tentara tapi sebuah gerakkan perlawanan dari aktifis mahasiswa Islam (HMI) untuk melawan Soeharto (Penguasa).

Sirene meraung raung suara teriakan dari Orasi mahasiswa timbul tenggelam dengan suara Helikopter yang terbang rendah diatas kampus.
Ketakutan keberanian kemuakan atas semuanya bercampur aduk bersama kegaduhan yang terjadi selama ber jam jam lamanya.

Sore hari ketika demo berakhir setelah diserbu sepasukan Tentara, bersama Nasrullah Hamka saya kembali kerumah tak lama kemudian Abdul Malik menelpun menyatakan kampus berkobar kembali bahkan terjadi bakar-bakaran Ban didepan jalan yang dilakukan oleh Mahasiswa Sore. Dan Malik mengingatkan agar jangan berada dirumah malam ini.

Kami segera berangkat kerumah Sakit Islam dimana seorang teman dirawat akibat di aniya oleh oknum Satpam kampus ketika demo pagi hari tadi. Ada puluhan mahasiswa masih berkumpul disana.

Ada ketegangan dalam hati saya diakibatkan ketololan seorang pengurus senat yang membagikan kertas kecil berisi pesan singkat, “Malam ini kumpul di rumah Geis Chalifah jam 7 malam, rapat evaluasi aksi” lengkap dgn nomor telp rumah dan alamat. undangan itu tanpa koordinasi lebih dahulu sebelumnya. Sebisa mungkin saya menginformasikan pada semua teman bahwa acara itu batal. Info itu saya yakini akan jatuh ketangan para intel menyerupai mahasiswa yang sering kita tidak tahu sebagai teman atau penyelusup.

Bersama beberapa teman kami menginap dirumah seorang kerabat Abdul Malik di daerah pondok Bambu. Tengah malam sekitar jam 2 pagi, ketika semua sudah tertidur lelap tiba tiba saya terbangun dengan detak jantung yang berdetak keras. Tidak ada yang terjadi namun kegelisahan semakin menjadi jadi, Sebisa mungkin saya mengusahakan untuk tidur kembali dengan detak jantung yang perlahan lahan mulai normal kembali.

Kamis 19 Oktober sehabis subuh, Malik Memberi tahu ada telpun dari Ivan Prasetia Senior saya di Fisip yang rumahnya berdekatan dengan rumah saya. Segera saya menuju ketempat telp lalu terdengar suara diseberang sana. “Assalamualaikum geis… yang pertama aku ingin mengucapkan selamat ulang tahun dan yang kedua aku ingin mengabarkan, rumah antum semalam di grebek tentara.” Saya gak sempat bicara cuma keringat dingin tiba tiba mengucur dan perut terasa mau muntah… Terbayang wajah Umi (ibu) seperti apa dia ketakutannya.. lalu berganti ganti dengan wajah wajah keluarga lainnya. Terbayang pongahnya para aparat itu yang menenteng senjata sambil membentak bentak.

Sebuah ucapan selamat dari Ivan yang kemudian saya tidak bisa pulang kerumah selama bermingu minggu.. Dan hari ini Senin 19 Oktober 2009, ketika ratusan ucapan selamat Ulang Tahun terkirim di FB saya.

Satu kalimat yang selalu terucap didalam hati di setiap hari kelahiran ” Umi .. maafkan "kenakalan" anakmu.”

Kamis, 15 Oktober 2009

Mengenang Huda Machfudz

"aduuuh p geys trimakasih banyak:bpk memang sdr saya terbaik, yang penting doakan sy sehat walafiat, semoga bpk jd sdr sy dunia akhirat, amiiiin.thanks alot." sebuah pesan di hp saya tertanggal 26,09.2009.

itulah komunikasi terakhir dari seorang ibu bernama Huda Machfudz.
Sms itu adalah jawaban dari sms sy sebelumnya, " bu Huda sy sedang bersama keluarga di KL bila ada yg bu Huda perlukan dari sini, obat, vitamin atau apa saja tolong beri khabar"

Saya mengenalnya beberapa tahun lalu melalui seorang teman ketika dia ingin mengetahui mengenai sebuah yayasan yang saya kelola di pasar minggu, dan setelah itu ibu ini terkadang mengirimkan dana bila yayasan sedang mengadakan kegiatan sosial berupa sunatan massal atau kegiatan lainnya.

Komunikasi sering kali terjadi melalui sebuah room di yahoo messenger dimana teman teman dari kota asalnya aktif berkomunikasi di situ. Aksen suaranya khas, selalunya akrab dengan orang yang baru dikenalnya. Dan bila dia bicara dalam bahasa Arab maka suara presenter TV Mesir seolah sedang bicara didepan kita.

Memiliki empat anak yang sukses dalam kuliah maupun karirnya, memiliki banyak teman dan tak ada satupun sahabatnya yang tidak merasa akrab dengan dirinya. Tidak mudah marah walaupun seloroh di room YM kadang melewati batas, ucapan yang keluar hanyalah :"sing genah lho."

Beberapa temannya kadang mengalami kesulitan dan tangannya selalu terlepas memberi bantuan tanpa teman lainnya mengetahui.

Setelah beberapa kali di rawat di RS berjuang melawan penyakit kanker yang dideritanya, Surabaya, Rabu kemarin 14 Oktober 2009, adalah akhir dari penderitaannya. Malam sehabis sholat Isya dengan didampingi sanak family dan teman teman dekatnya. Nurhuda Nasar Machfudz pergi menemui khaliknya dengan diiringi sejuta kesan yang mendalam dari segenap sahabatnya.

Adalah Anisah Bahanan teman yang selalu diminta datang mendampinya ke RS ketika hari hari menjelang ajal. Anisa mengabari lewat hp dengan suara terisak "Geis, Huda sedang "Naza ' " (hembusan nafas nafas terakhir)......." Anisa meminta untuk mendoakan Huda, secepatnya saya pun menelpun sahabatnya yang lain, dan sahabatnya itu walaupun dengan perlahan lahan saya mengatakan alat bantu bu Huda sudah dilepas semua dan sekarang sedang dalam masa masa di akhir khayatnya. Namun kehilangan sahabat baik adalah suatu pukulan berat dan bu Mita sahabat dekatnya yang lain. Seolah mengeluarkan segenap emosi tangisnya yang sudah beberapa hari dipendamnya.

Dunia adalah perjalanan sementara menuju keabadian, dalam perjalanan itu kita menemui banyak orang dan sering kali orang orang baik pergi lebih dulu meninggalkan kita.

Semoga Allah mengampuni semua dosanya menerima seluruh amal ibadhanya dan mengabulkan segala doa doanya. Allahummaghfirlaha warhamha wa'afiha wa'fuanha,amiien

Wahai jiwa yang tenang kembalilah kepada Rob mu dalam keadaan ridho dan di ridhoi. (Q, S. Al Fajr)

Senin, 29 Juni 2009

Abah Seolah Penguasa


Buku ini bercerita tentang berbagai perubahan dalam tradisi masyarakat keturunan Arab (jamaah) di Indonesia. Ada banyak hal positif maupun negatif diangkat oleh penulisnya, yang sengaja menghindari eufemisme bahasa.Ia lebih memilih kelugasan dalam bertutur, yang merupakan ciri khas masyarakt Timur Tengah. Dan ciri itu pulalah yang menonjol dalam esai-esai yang memikat ini.

Dalam satu esainya sang penulis berkata, "Masyarakat keturunan Arab saat ini semakin pintar dan semakin memahami agama, namun ironisnya semakin individualis." Sebuah sorotan tajam yang mengedepankan kejujuran dalam otokritik terhadap masyarakatnya sendiri.

Buku ini berbicara tentang problem kultural, menyangkut akhlak dan moral komunitas Arab. Penulis berusaha menyajikannya dengan obyektif, dan tidak semata menyorot perilaku masyarakat awam. Tapi juga melihat berbagai persoalan yang ditimbulkan oleh kalangan agamawan. Sebuah usaha yang patut dibaca dan ditiru oleh semua pihak, sebagai bahan untuk memperkaya pemahaman kita pada beragam budaya yang tumbuh dan berkembang di bumi Indonesia.

Selasa, 14 April 2009

Little House on the Prairie

Ada banyak drama seri keluarga saat ini, sekian banyak stasiun Tv memproduksi sinetron. Ada yang lumayan bagus namun jauh lebih banyak pula yang kering dalam nuansa hanya pameran wajah cantik dan kemewahan. Sekian banyak drama keluarga bersaing merebut pasar. Dimasa kini, Cinta Fitri leading dengan rating tertinggi. Saya tidak tahu dalam beberapa tahun kedepan masihkah para penggemarnya mengingat sinetron itu. Atau sudah lapuk digantikan dengan sinetron berpola sama dgn cerita yang berbeda. Saya juga tidak tahu bagaimana isi cerita sinetron itu mengapa banyak digemari dsb.

Akan tetapi sekian banyak orang bahkan jutaan jumlahnya ketika siaran tv cuma satu bernama TVRI. Akan selalu ingat sebuah film seri berjudul Little House on The Praire. Sebuah film seri dengan setting sederhana namun memukau jutaan penonton di seluruh dunia. Bahkan nama keluarga dalam film tersebut pun masih banyak yang mengingatnya. Ya keluarga Inggals namanya. Dan yang tentunya yang banyak diingat orang adalah Laura Ingalls (Melissa Gilbert).

Dalam sebuah Episode Laura Ingalls dan seluruh teman sekelasnya di beri tugas untuk mengarang pengalamannya selama libur sekolah oleh gurunya.
Sampai pada waktunya maka satu persatu temannya maju kedepan untuk membacakan hasil karangannya tak terkecuali juga Laura.

Laura bercerita tentang ibunya dia memulai dengan kata "aku memiliki seorang ibu yang sabar..." maka mengalirlah kalimat demi kalimat dari bibir Laura yang seolah sedang membaca tulisannya. Dia bercerita ibunya yang menjahit bajunya untuk tampil pada hari itu, bagaimana perhatian ibunya pada anak anaknya, pada ayahnya dan seterusnya.
Ayah (Charles Ingalls) diperankan oleh Michel London, dan ibunya (Carrie Inggalls) di perankan oleh Lindsay Grennbush juga Orang tua Murid lainnya ikut melihat ketika murid murid itu membaca karangannya terkesima ketika Laura tampil kedepan dengan begitu memukau.

Namun ketika karangan itu dikumpulkan sang guru terkejut, karna dalam buku karangan Laura buku itu kosong tak ada satu katapun tertulis disana. Laura belum bisa membaca apa lagi menulis, Laura mengarang melalui hatinya.

Little House on The Praire bermula dari sebuah buku memoar yang ditulis oleh Laura Ingalls tentang keluarganya. Laura menulis pengalaman masa kecilnya ketika sudah berumur diatas 60 tahun, dalam sebuah akhir catatan di kompas tentang film ini "dunia akan bebeda bila saja banyak kaum ibu menulis seperti Laura Ingalls"

Kamis, 26 Februari 2009

MASOOM

senja hitam ditengah ladang...diujung pematang kau berdiri..
putih diantara ribuan kembang..langit diatas rambutmu merah tembaga..
engkau memandangku. .
bergetar bibirmu memanggilku basah dipipimu air mata..
kerinduan..kedamaian oooo..
batu hitam.. diatas tanah merah...
disini akan kutumpahkan rindu kugemgam lalu kutaburkan kembang..
berlutut dan berdoa..surgalah ditanganmu Tuhanlah disisimu...
kematian hanyalah tidur panjang.. ..: maka mimpi indahlah engkau...
camelia..camelia. ..ooo...
pagi engkau berangkat hati mulai berpacu..
malam kupetik gitar..dan terdengar senandung ombak dilautan..
menambah rindu dan gelisah...
adakah angin gunung adakah angin padang mendengar keluhanku..
mendengar jeritanku..dan membebaskan nasibku dari belenggu sepi...la..la. .la.

Saya mengulang ulang kembali satu lagu lama... dijalan tol yang sudah mulai sepi menjelang tengah malam.. Ada getaran hebat ketika bait demi bait yang mengkristal merajut antara kerinduan dan harapan dari manusia yang ditinggalkan. Aroma cinta sangat kental didalamnya namun juga kepasrahan dan harapan pada Tuhan mendorong sebuah keyakinan akan surga ditanganmu dan Tuhan disisimu.

Ketika jasad manusia terkubur dalam diantara tanah merah ada kepedihan dari yang ditinggalkan ada banyak kenangan yang tetap hidup. Maka kematian hanyalah tidur panjang yang tersambung kembali jalinan hubungan melalui doa. Tuhan memtuskan hubungan fisik tapi juga memberi ruang hubungan antar manusia melalui jalurnya.

Entah bagaimana Saya teringat sebuah film lama bejudul Masoom..yang tak berkaitan dengan syair di lagu tersebut. Masoom seorang anak laki2 yang kelahirannya tidak diharapkan hadir ditengah keluarga bahagia.. Seorang ibu yang cantik dengan dua anak, laki-laki dan perempuan, dan seorang ayah muda. Masoom memasuki keluarga itu dikarenakan keterpaksaan sang ayah kandungnya yang menghamili ibunya ketika reuni sekolah dan sang ibu menemui ajalnya ketika Masoom masih sangat kecil.

Film dimulai ketika anak itu berada didalam mobil dan sang sutradara dengan pandainya mengekploitasi wajah anak itu menjadi sangat dramatis, ketika anak itu berpaling kekanan maka sorot camera meng close up wajahnya dan hampir seluruh penonton tak sadar bergumam huuuuu.... karena muka yang begitu sempurnanya garis dahi sorotan mata seolah hasil lukisan yang sangat indah.

Namun sempurnanya wajah tak berbanding lurus dengan nasib. Perempuan tetaplah perempuan sekeras apapun dia mencoba tapi hatinya tak bisa menerima hubungan suaminya dengan ibu anak itu. Keberadaan anak itu didalam rumahnya menggelisahkan hatinya merusakkan kebahagiaan dirinya bersama keluaraganya selama ini.. walaupun dua anaknya sangatlah akrab walaupun dua anaknya mencintai Masoom sebagai saudara.

Ketika kekerasan hati lebih mengemuka dari kasih sayang, Masoom harus lepas dari keluarga ayahnya, rumah itu bukan tempat yang layak untuknya tempatnya adalah di asrama. Itulah kompromi terakhir dari ibu tiri bersama ayahnya.

Perjalanan Masoom ditengah keluarga finis sudah, sebuah kereta sudah menunggu distasiun untuk membawanya ke asrama. Ayah bersama ibu tiri dan dua saudaranya mengantar. Ketika sang ibu kembali ke Mobil anak perempuannya membuka buku gambar yang dibuat Masoom. Tampak dalam gambar itu tiga anak kecil sedang bermain namun satu anak laki laki dalam gambar itu diberi tanda silang. Masoom menyilang dirinya sendiri dalam gambar itu, keberadaannya adalah bencana keberadaan dirinya tak mendapat tempat dari hati seorang perempuan.
Spontan jiwa ke perempuanan seorang ibu bergolak, kasih sayang yang tertutup oleh murka kembali menyeruak membuang jauh kebencian yang berefek pada anak itu...Buku gambar itu telah menyelematkan Masoom dari kehidupan asrama. Sang ibu berlari kestasiun mengambil kembali Masoom dari dalam kereta. dia bukan hanya mengambil Masoom tapi juga menarik kembali kasih sayang tuhan dalam dirinya.

Ketika sang ayah melihat kereta sudah berjalan dia berjalan kembali kemobil dan dilihatnya masoom sudah berada disana bersama isteri dan dua anaknya...

Manusia memisahkan hubungan dengan caranya dengan kekerasan hati dan kemarahan namun tuhan mengembalikannya kembali dengan sifat kasih sayang yang diturunkannya.
Ketika Tuhan memutuskan hubungan melalui ajal yang telah datang Dia memberi harapan dengan doa memberi ruang lain untuk tetap berhubungan melalui kuasaNya.

Jumat, 09 Januari 2009

Ibu itu bernama Syahrazat Sauqat Al Bachri (Umi Ayat)

Saya terhempas dalam rasa malu, terpuruk dalam keniscayaan eksistensi yang tak berarti. Seolah dikembalikan dalam titik nol masuk sedalam dalamnya keruang hampa.
Seringkali berada pada ruang publisitas yang sebenarnya tak banyak memberi arti hanya kepuasan artifisial. Hanya sedikit yang saya lakukan namun terkadang mendapat gema besar betapa memalukannya.

Melihat perjuangan seorang Ibu, melihat keikhlasan dengan nyata, seperti diberikan cermin yang menampakan seluruh ruang kekotoran hati dan pikiran kita, memberi tamparan pada kebodohan akan kecongkakan.

Awal saya mengenalnya ketika konflik Ambon sedang bergejolak, ibu ini menghampiri sambil bertanya dengan halus, “anda geis chalifah..?” “iya benar bu.” Jawab saya agak terperajat sambil menaruh dokument dokument Al Irsyad yang sedang saya pelajari di sekertariat PP Al Irsyad. Baru beberapa minggu lalu saya resmi menjadi salah satu pengurusnya.
“saya mendengar anda memberi tempat bagi keluarga pengungsi Ambon di khatulistiwa yang di Jalan Pedati.?” Tanyanya lagi. “iya benar” jawab saya lagi sambil menunggu kemana arah pembicaraan ini selanjutnya.
“kalau boleh saya mau minta tolong pertemukan saya dengan keluarga itu, Insya Allah dalam berbagai majelis ta’lim saya ingin salah satu dari keluarga itu menceritakan sendiri apa yang mereka alami di Ambon.” Sambung ibu ini lagi.
Dengan secepat kilat saya mengiyakan. dan semakin mengenalnya semakin terkagum kagum dan respek dengan apa yang dilakukannya.

Ibu ini tak banyak bicara dia hanya meminta pendapat lalu dia kerjakan apa yang dia mampu kerjakan, dan yang dia lakukan sangat melebihi apa yang kita kerjakan.
Satu hari dia berjalan dari gerbong kegerbong kereta melewati para penumpangdengan membagikan sticker gambar calon presiden pilihannya sambil berkata "inilahpresident pilihan kita, inilah president pilihan kita.." Bukan karena wajah sangpresident atau dia mengenalnya, atau punya keinginan tertentu untuk pribadi tapisemata mata hanya panggilan semangat keislamannya.

Di hari lainnya dia berkata dan bertanya tolong tugaskan saya kedesa desa mana saja yang belum tergarap saya bersedia untuk mendatanginya , dengan biaya yang dia cari sendiri pula.
Saya katakan di Jakarta sinipun masih banyak yang dapat kita lakukan dan belum tergarap. Kalau begitu banyak majelis ta’lim saya diberbagai pelosok akan saya datangi semuanya. Besar sekali harapan dan semangatnya untuk menjadikan Amin Rais menjadi President di masa itu.

Seminggu sebelumnya Umi Ayat berkata; akan pergi kesebuah kota di Jawa untuk menyadarkan mereka agar tidak salah memilih, pada saat bertemu lagi Umi Ayat bercerita ; saya baru kembali dari kota itu, namun saya tidak berhasil sulit sekali menyadarkan orang orang itu.
Saya tercengang, kekuatan apa yang ibu ini miliki ? dia berkata dan dia lakukan, tanpameminta tanpa memberi kesan saya sudah berjuang. Dia hanya berkata katasejujurnya apa yang ingin dilakukan dan lalu dilaksanakan dengan sepenuh hati.

Seorang Ibu Tua berjalan dengan tongkat dengan badan yang besar dan pasti melelahkan, namun semuanya menjadi mudah untuknya padahal beliau baru saja keluar dari rumah sakit.

Dalam kesempatan lain setelah Tsunami melanda Aceh Umi Ayat meminta waktu untuk berbicara disebuah forum tentang kebutuhan mesin jahit untuk para perempuan di Aceh. Dimana dia bulak balik melakukan perjalanan kesana untuk sebuah kata.. “EMPATI”.
Umi Ayat memiliki empati bukan dalam basa basi apa lagi sekedar lips service tapi dalam bentuk perbuatan.

Suatu ketika dada saya sempat berdegup kencang ketika Umi Ayat marah dan berteriak, apa pasal ? Dalam sebuah pertemuan di Cilacap yang bertujuan terjadinya islah dalam tubuh PP Al Irsyad. Umi Ayat menghendaki Musyawarah agar masing-masing kubu para ketuanya mengundurkan diri dengan mengganti dengan ketua umum baru yang tidak terlibat dalam konflik. Yusuf Usman Baisa menolak dengan berdalih “inilah demokrasi kita harus mendahulukan hak setiap orang dalam memilih ” dan Umi Ayat pun berteriak dengan lantang. “Yusuf !!! anda berda’wah dimana mana tapi kamu mendahulukan demokrasi ketimbang musyawarah!! !!!” Saya bergetar melihatnya bergetar mendengar teriakan spontan Umi ini yang sudah tak mampu menahan emosinya. Pilihan untuk mundur bagi Hisyam Thalib yg sudah disetujui oleh semua fungsionaris PP demi tercipatnya sebuah perdamaian, namun ditolak oleh Kubu Faruk Zein Bajabir melalui Yusuf Baisa dengan alasan demokrasi. Dan Umi Ayat seorang perempuan lembut hati, tak kuasa menahan emosinya melihat Al Irsyad terpecah belah untuk sebuah kata sakti ; yang bernama EKSISTENSI KELOMPOK dengan alasan demokrasi. Saya menunggu jawaban selanjutnya tapi urung, karena mata Umi yang sangat mencintai Al Irsyad ini, dimana bertahun tahun dia bergelut didalamnya untuk berda’wah kadung basah oleh air mata. Saya melihat senyum kemenangan di wajah para penentangnya, dan getir melihat wajah Umi ini berubah sendu.

Kamis 8 Januari 2009 kami melakukan demo di kedubes Mesir sebagai wujud solidaritas pada bangsa Palestina yang tertindas oleh Isrel. Ketika kami sampai di tempat, sang ibu telah menunggu disana bersama rombongannya. Dia Cuma mendengar dan tanpa bertanya masalah transportasi, logistik dan sebagainya dia ada di sana lebih dulu dari kami.
Dan Umi inipun berorasi, sebuah orasi dengan untaian kata kata yang lahir dari ketulusan dan kasih sayang. Dia mencintai umat Islam dan cinta itu telah memberikannya kekuatan melebihi kemampuan fisiknya.

Dia menggarisi hidupnya untuk sebuah kalimat. BERJUANG UNTUK ISLAM DALAM SETIAP KESEMPATAN.

Umi Ayat.... Izinkan saya mengatakan, Umi adalah simbol ketulusan, keikhlasan,dan kekuatan, dari sedikit orang di masa kini yang berperangai seperti para Umi di 14 abad lalu. Betapa beruntungnya umat islam bila memiliki banyak ibu-ibu seperti Umi Ayat.

Salam.Untuk Nadia dan Helwi juga lainnya yang mengagumi dan mencintai Umi Ayat.

Dibawah ini adalah link video orasi Umi Ayat.
http://www.youtube. com/watch? v=MEivKzjPdAI