Selasa, 22 Januari 2008

Abah Seolah Penguasa, Umi Yang Berkuasa

Lazim diketahui pada umumnya anak anak laki kecil keturunan Arab nakal nakal dan tak bisa diatur, ada pameo yang menyatakan bila ada anak kecil Arab diam duduk tenang dan rapih bawalah kedokter mungkin lagi sakit. Kenakalan kenakalan baik di sekolah maupun dirumah bukan sesuatu yang aneh dan sudah bukan berita.

Para orang tua jaman dulu menyiapkan gesper (ikat pinggang) untuk menghukum anaknya, berbagai macam model hukuman dari ikat pinggang, dikunci dalam kamar mandi maupun menaruh sebatang kayu lalu menaruhnya disela dua kaki dan menyuruh anak itu berjongkok menjepit batang kayu itu. Lain lagi hukuman para guru ngaji, sebatang pinsil ditaruh di antara dua jari lalu di jepitnya dengan keras yang membuat siterhukum meringis, terkadang rotan rajin datang menyuntuh bagian tangan atau paha karena mengaji yang terbata bata dan selalu salah.

Didalam rumah abah adalah penguasa jarang sekali anak meminta keperluan untuknya langsung kepada abahnya, biasanya disampaikan melalui Umi'. Unsur ketakutan lebih dulu tercipta yang membuat anak sulit terbuka apa lagi menyatakan berbagai keberatan.

Akan tetapi kekuasaan Abah bersifat fisikal tidak menyentuh hati, karena hati anak Arab dikuasai Uminya' senakal apapun anak Arab bila air mata Umi' menetes maka jiwanya luruh, mungkin menjadi tukang kelahi, mungkin mabuk diluar rumah mungkin pula berlaku kriminal tapi begitu melihat mata ibunya melotot, matanya tak berani memandang melorot turun kebawah terlebih bila melihat Umi menangis maka hukuman rotan mungkin lebih diinginkan ketimbang melihat seorang Umi bersimbuh air mata.

Kepatuhan pada ibu bukanlah sesuatu yang didapat lewat khotbah di pengajian apa lagi doktrinasi, kepatuhan pada Umi adalah pelajaran dari contoh langsung perilaku para Abah dimasa lalu, setiap pagi orang tua laki mencium tangan ibunya mencium kening ibunya bertanya seputar keseharian atau kesehatannya lalu meminta doa, baru abah itu berangkat ke toko, bila rumahnya berlainan dia pergi dulu kerumah ibunya baru berangkat ketempat kerja. Tak jarang sepulang kerja dia tidak kembali kerumah istri dan keluarganya dulu tapi kerumah ibunya melihat keadaannya sore hari bercengkrama dengan santun, baru kembali ketengah istri dan anak anaknya. Dari masih kecil anak anak Arab melihat yang seperti itu setiap hari berbulan dan bertahun, masuk dalam alam bawah sadar terinternalisasi dan menjadikan seorang ibu seorang wanita suci. Doanya adalah lapang nya jalan, Doanya adalah kebahagiaan, Doanya adalah keberanian mengarungi dunia kehidupan.

Umi adalah manusia yang berkuasa dalam rumah tanpa kepalan tangan tanpa sebuah rotan dan ikat pinggang Umi berkuasa melalui hati dan perasaan, melaui jemari lembut yang menyebokkan kencing kita ditengah makan siangnya, Umi berkuasa melalui air susunya ditengah suhu badannya yang tinggi.

Para Abah dimasa lalu tak menunggu didatangi ibunya, tak menunggu ibunya meminta sesuatu darinya, bila dia memiliki uang untuk pergi haji maka uminya dululah yang pergi haji, bila dia memiliki uang untuk membeli rumah yang lebih baik ibunya dululah yang menempati.

Kini tradisi semakin longgar, cinta semakin berjarak oleh kesibukan dan kebutuhan duniawi tapi cinta para Umi masa lalu tak berjarak barang sehelai rambut, cinta para umi menunjukkan kekuatan fisik dan mental dari segala beban yang dihadapi didalam rumah. Memberikan ruang untuk anak anak tumbuh dengan sehat. Memiliki kapatutan, etika, dan Adab. Walaupun anak itu tujuh, sepuluh, bahkan dua belas ia menerima hidupnya sebagai ibu bukan pesaing dari sang suami.