Jumat, 17 Juni 2011

Radio Da'wah Punya Penggemar Tetap. (Republika)


http://koran.republika.co.id/koran/52/137258/Geisz_Chalifah_Punya_Pendengar_Tetap


Jumat, 17 Juni 2011 pukul 17:23:00
Geisz Chalifah, Punya Pendengar Tetap

wawancara

Media dakwah terhampar. Dakwah dengan cara temu muka di tempat terbuka atau masjid sudah lama berlaku. Lewat udara, dakwah pun dapat berjalan. Karena itu, bermunculan radio-radio dakwah. "Alhamdulillah, radio dakwah memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat," kata Direktur Humas Radio Silaturahim (Rasil) Geisz Chalifah.

Namun, ia juga mengatakan, sangat penting bagi pengelola radio dakwah mampu membaca perubahan di masyarakat. Ini berdampak pada keefektifan dakwah. Pada Ahad (12/6), kepada wartawan Republika Damanhuri Zuhri, dia juga mengungkapkan tantangan yang dihadapi radio dakwah. Berikut petikannya.

Di tengah beragamnya media dakwah belakangan ini, bagaimana sesungguhnya posisi radio dakwah?
Sekarang ini terjadi keanehan luar biasa. Kami mengalaminya di Radio Silaturahim (Rasil), AM 720. Radio ini sama sekali tidak memberikan ruang bagi iklan, hanya berisi ceramah, murattal, dan setiap selesai ceramah ada lagu-lagu yang bersifat rohani. Radio tetap berjalan dan antusiasme masyarakat masih tinggi.

Berdasarkan survei melalui telepon dan pesan pendek, jumlah pendengar lebih dari 200 ribu. Mereka yang mendengarkan secara streaming lewat laman kami mencapai 122.800 orang. Setiap bulan, jumlahnya bisa sebanyak itu. Jadi, kalau ditanya bagaimana kondisi radio dakwah sekarang, radio ini memiliki tempat sendiri di masyarakat. Dalam arti, radio dakwah punya pendengar tetap. Masyarakat sekarang masih butuh radio semacam ini yang memberikan pencerahan dengan siaran-siaran keagaman.

Menurut Anda, apa yang menyebabkan antusiasme yang tinggi itu?
Pertama, mungkin dalam Radio Rasil tidak ada iklan sama sekali, jadi sifatnya nonkomersial. Kedua, kami benar-benar menyeleksi materi dan ustaz yang berceramah di radio kami. Jadi, ustaznya menguasai bidangnya. Kalau menyampaikan tafsir Alquran, misalnya, ustaz itu memahami ilmu Alquran dengan baik.

Di radio kami, siaran pukul 09.30 hingga 11.00 WIB diisi oleh Ustaz Husin al-Athas tentang tafsir Alquran. Acara ini banyak sekali pendengarnya dan disertai dengan tanya jawab. Setiap siaran paling tidak ada 180 hingga 200 pesan pendek yang masuk, hanya sepuluh yang sempat terjawab.

Kalau tidak mengandalkan iklan, dari mana biaya operasional radio?
Keputusan awal untuk menentukan apakah radio ini menerima iklan atau tidak memang sangat krusial. Pada akhirnya, kami putuskan radio ini tanpa iklan. Sebab, memang radio ini didirikan kalangan usahawan yang memiliki perhatian terhadap agama. Jadi, mereka serta-merta mengeluarkan dana demi keberlangsungan radio ini.

Setelah radio ini berjalan, ternyata masyarakat sendiri, yaitu para pendengar, memahami bahwa stasiun radio ini bisa terus berjalan kalau ada sumbangan dari umat. Lalu, tanpa banyak diminta, sumbangan tersebut mengalir dalam bentuk uang dan bermacam sumbangan lainnya.

Mereka ada yang memberi sebesar Rp 10 ribu atau Rp 20 ribu. Bahkan, ada asosiasi sopir taksi yang berinisiatif mengumpulkan dana sumbangan untuk dikirimkan ke Rasil. Kami juga punya alasan mengapa memilih gelombang AM dibandingkan FM. Dari sisi suara, memang tak sebaik FM, tetapi jangkauannya lebih luas.

Terbukti, siaran Radio Rasil mampu menjangkau Tegal, Jawa Tengah, dan beberapa kota besar lainnya di Jawa Tengah. Jadi, ada beberapa kota di luar Jakarta yang menerima gelombang radio ini, ada juga yang tidak. Tapi, kalau wilayah Jakarta, Tangerang, Bekasi, dan Depok sudah hampir semuanya.

Kelihatannya dakwah di radio ini mampu memengaruhi pendengar?
Sangat berpengaruh. Ini terbantu oleh bahasa dakwah yang digunakan. Kami melihat hampir 70 persen pendengar berasal dari masyarakat tradisional, sedangkan 30 persen lainnya adalah kelompok menengah ke atas. Nah, dalam penyampaian materi dakwah, harus menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Tidak dengan istilah-istilah yang rumit.

Bagaimana agar dakwah melalui radio ini efektif?
Tentu dengan kualifikasi yang benar. Kami tidak asal saja memberikan tempat bagi seseorang untuk berceramah. Lebih dulu, kami lihat rekam jejak dan latar belakang pendidikan seseorang yang akan ditarik menjadi penceramah. Rekaman-rekaman ceramahnya di tempat lain pun kami dengarkan.

Kita punya batasan ketat yang terangkum dalam visi bahwa radio ini untuk Islam yang satu. Jadi, mungkin karena visinya itulah masyarakat tertarik. Boleh dikatakan, Rasil tak memberikan ruang untuk mempertajam perbedaan, tetapi mendahulukan persamaan. Ruang untuk mengedepankan persamaan kami buka seluas-luasnya.

Menurut Anda, seberapa banyak radio dakwah yang ada di Jakarta, khususnya, dan masih bertahan?
Radio dakwah di Jakarta yang masih bertahan saya tidak tahu persis jumlahnya. Ada radio yang mencampurkan antara dakwah dengan kegiatan komersial, ada juga yang khusus dakwah saja. Yang khusus dakwah, di antaranya Radio Rasil, Radio Cendrawasih, dan Radio Dakta.

Apa tantangan yang dihadapi radio dakwah?
Pertama, mengenai pemahaman Islam yang berbeda dan terkadang itu dibesar-besarkan. Biasanya kalau langkah semacam itu dilakukan, memicu perpecahan. Berikutnya, ada keinginan yang baik, tetapi dalam prosesnya tak ada keteguhan menjalaninya. Jadi, karena sifatnya dakwah dan nonkomersial, mengurusnya hanya dari sisa waktu yang ada.

Walaupun dakwah seharusnya tetap dikerjakan secara profesional, kami mempraktikkannya. Orang-orang yang bergabung dengan kami dihargai selayaknya. Keyakinan juga sangat berarti. Justru modal awal mengelola radio dakwah adalah keyakinan yang kuat.

Pada masa mendatang, apa yang perlu dilakukan para pengelola radio dakwah?
Mereka dituntut dapat membaca perubahan dalam masyarakat. Jadi begini, jika dulu manusia itu berinteraksi langsung berhadapan secara fisik, sekarang hal itu tak sepenuhnya berlaku. Pertemuan bisa melalui media seperti teleconference. Memahami perubahan akan memudahkan kita memetakan masyarakat.

Pemetaan ini berguna untuk menyampaikan cara-cara dakwah yang sesuai dengan kondisi masyarakat dan akhirnya dakwah mengenai target dan efektif. Tanpa kemampuan itu, akan tertinggal. ed: ferry kisihandi

Senin, 16 Mei 2011

REUNI.

Kuliah Etika Hubungan Internasional dari DR Sutejo sudah lama Usai namun beberapa teman masih bergerombol di kantin, ada Aan, Linda, Eva, Rizal lubis Satria dan beberapa lainnya. Jam di tangan menunjukkan pukul 13.30 siang, segera saya meninggalkan mereka. hari ini ada rapat dirumah Fauzi Askar membahas kelanjutan dari forum silaturahmi mahasiswa (khatulistiwa.) Setiba di kampung melayu saya melompat turun dari bus menuju deretan Mikrolet yang berjajar menunggu penumpang, Duduk di bangku depan terasa lebih nyaman di siang yang panas dibanding di Bus PPD yang penuh dan pengab tadi. Dua buah buku penuh catatan yang saya pinjam dari Aan. (Romana Aprilia Munir) di kampus, saya taruh di atas Dashboard.



Tak sampai 15 menit mikroletpun tiba di di depan rumah Fauzi yg berada di jalan Otista Raya, setelah membayar, dengan agak terburu buru turun dari Mikrolet dan lupa duah buah buku catatan masih tergeletak diatas Dashboard. ketika melangkah menuju pintu masuk barulah tersadar dua benda berharga itu masih berada di Dashboard mikrolet dan ketika menengok mikrolet itupun sudah tidak terlihat lagi.



Rapat berlangsung dengan santai dan penuh gelak tawa karena Sukri sering menyelak dengan banyolan2nya yang lucu. Selesai rapat saya menginformasikan padanya. "Sukri, gue minjam catatannya Aan, apesnya waktu turun gue lupa angkat dari dashboard. ada dua buku tebal tebal dua duanya. pusing gue gimana caranya ngasih tau nya besok?." dan si enteng mulut itupun menjawab." mampus lho, besok mulutnya Aan bakal begini, sambil meng gerak2 kan jari jempol dgn empat jari lainnya seperti menutup dan membuka yg melambangkan ocehan."

Sukripun tertawa ngakak sambil menakut nakuti akan apa yang terjadi esok hari.



Jam 7 pagi perkuliahan sudah di mulai, agak terlambat saya memasuki kelas namun Djansiwar Jafar (Pak Iwa) bukanlah dosen yg sok kuasa, dia memberikan kesempatan saya masuk dan meneruskan kembali perkuliah Sejarah Politik Afrika. Usai pak Iwa memberi materi ada jeda 10 menit menunggu dosen berikutnya dan lebih dari separuh mahasiswa dikelas itu keluar ruangan untuk merokok dan bercanda. Dengan agak ragu ragu saya menghampiri Aan berusaha memberanikan diri untuk mengabarkan raibnya dua buku catatan yang saya pinjam kemarin. "Aan..." tegur saya perlahan, Aan pun menoleh dan sambil tersenyum menjawab " Kenapa Geis... buku catatan Aan hilang ya?, ga papa kok" dengan ekspresi yang ramah tak ada kesan marah sama sekali. Rupanya Sukri pagi pagi sudah menjadi BBC London. Hilang sudah semua bayang bayang yang menyangkut di kepala dari kemarin siang, Bahkan Aan pun melanjutkan, " buku kosonngnya Geis mana ? biar nanti Aan yang catatkan sekalian." Tetap dengan keramahan seperti tadi.

" ga usah An, makasih banyak biar nanti gue foto copy aja." jawab saya tau diri.



Minggu Pagi 20 tahun lebih kemudian. Di Taman Jaya Impian Ancol sebuah restoran dipenuhi ratusan manusia berbaju putih, dgn sebuah stiker bertuliskan nama atau identitas. MC dipanggung memangil mangil nama nama pengurus IKA FISIP JAYABAYA yg baru terbentuk. Sementara puluhan meja berderet deret dipenuhi oleh berbagai peserta yang ramai dengan canda dan gelak tawa, suara MC hampir tak terdengar. Bertemu teman lama jauh lebih seru ketimbang mengikuti acara yang sedang berlangsung. Hari ini sebuah perayaan besar di gelar temu alumni seluruh angkatan Fisip.

banyak wajah wajah yg dulunya akrab kini sudah sulit mengenalinya faktor U memang susah dilawan. Beberapa teman nampak masih terlihat cantik namun bentuk badan sudah gak jelas mana perut mana pinggul seolah berlomba adu besar.



Seorang teman yang hadir belakangan menyimpan rapi arsip foto foto lama dan dia membawanya ke acara reuni, setiap orang memelototi wajahnya dimasa lalu. pernyataan yg paling arif adalah "Gue masih culun" untuk menghindari kata "masih cantik" agar tidak terkesan sudah tidak cantik lagi sekarang.

Beberapa yang tidak hadir namun ada wajahnya dalam foto itu ditanyakan kemana dia, ada dimana sekarang atau sudah berapa anaknya? Tapi tidak ada yang menanyakan Aan si wanita baik hati yang senyumnya selalu hangat. Semua di meja itu faham dan mengetahui Aan yang ramah itu telah beberapa tahun lalu pergi menghadap kepemilikiNya.