Selasa, 09 Oktober 2012

KETIKA SANG SUSTER MENIKAH.


Minggu sore  saya masih menikmati film yang diputar di HBO, terdengar celotehan ramai dan suara tawa yang selalunya menyelingi suara obrolan yang terdengar dari garasi,   saya hafal suara pemiliknya itu, suara keponakan saya anak dari kakak perempuan, bernama Aminah Hafidz Basalamah (Mina). Tidak lama kemudian masuklah dia dengan berbagai celotehannya yang selalunya ramai.  “Amiku hari minggu nih mau kemana kita.. nonton yuk.” celotehannya mulai merayu untuk mengajak pergi jalan, tak lama kemudian dia bicara lagi. " ini taman kalau mina nikah mina mau rubah jadi......."  dia mengkhayalkan sesuatu, lalu tangga rumah ingin dibuat sesuai dgn yg diingankan diacara malam pacarnya, saya mendengarkan sambil tertawa, sebelum celotehannya berakhir saya bertanya." iya semua yang mina mau disetujui. cuma mau tanya satu saja.  Laki laki yang melamar kamunya mana? dia menjawab dengan wajah polos dan suara manja .  "belummm  aaada." sayapun tertawa mendengarnya, kemudian rayuan untuk mengajak jalanpun dilanjutkan lagi yang memaksa saya untuk mematikan TV berganti baju dan mengikuti kemauannya. Mina memang selalunya ramai dan tidak pernah malu mengekspresikan apa yang diinginkannya walaupun itu hanya berupa angan angan.

Beberapa tahun sebelumnya dia membuat saya terkejut ketika sedang berada dirumah ibu saya, tiba2 seorang anak perempuan masuk kedalam rumah memakai jilbab lalu menghampiri  sambil mencium tangan, saya pun melihat wajahnya dengan penuh senyum. Anak perempuan yang selalu ramai ini tiba - tiba memutuskan memakai jilbab disaat kuliahnya masih disemester dua, saya tidak memberi komentar hanya sedikit tidak percaya dalam hati bahwa Jilbab itu akan bertahan lama dikepalanya, mengingat perilakunya yang selalunya lincah baik dari urusan dapur, membersihkan rumah,  sampai urusan jalan. tangan dan kakinya serajin tawa yang menghiasi celotehannya. Namun bertahun kemudian sampai kuliahnya tamat Jilbab itu tak pernah lepas darinya.

Dibalik penampilan yang selalunya ramai bahkan dalam mengekspresikan kesedihannyapun dia tetap tertawa, buat Mina mentertawakan diri sendiri merupakan sebuah kenikmatan walaupun linangan air mata tetap dia biarkan menghiasi wajahnya. Namun dibalik semua penampilannya itu Mina yang ekspresif ini memiliki profesi lain, dia memiliki julukan dalam keluarga sebagai SUSTER MINA. karena siapapun keluarga yang sakit maka dia tidak pernah pulang dari rumah sakit untuk menemani, walupun untuk sekedar mengganti baju. Dia lebih memilih berdiam dirumah sakit dan meminta baju2nya dibawakan.

Ketika Umi saya (neneknya Mina.)   kondisi mulai  melemah berbulan bulan si Suster ini berada disampingnya, Merawatnya meminumkan obat, memandikan dan membersihkan bagian dari luka yang diakibatkan oleh penyakit diabetes. Dokter yang setiap hari  mengontrol kerumahpun menjadikannya sebagai asisten. Memberikannya arahan apa yang harus dilakukan bila tiba2 terjadi kondisi yang kurang baik dalam pernafasan. 

Disaat saat seperti itu kami anak2nya sering menjadi bahan  tertawaan dari si suster kecil ini. "anak2nya umi hatinya pada ciut,  payahhh."  Saya dan semua  kakak saya termasuk ibunya cuma tersenyum mendengar ledekannya. kami memang tidak sekuat Mina dalam menghadapi ibu yang sedang sakit. Bahkan ketika saya mau pergi dari rumah tempat ibu saya dirawatpun saya berpesan padanya. " Mina kamu jangan telpun kalau tidak benar-benar penting. Ternyata pesan saya itu juga sama dipesankan oleh kakak saya yang lain padanya," semuanya langsung berdegup jantungnya bila suara telpun berbunyi dan itu dari  sang suster.  Situasi yang seperti itu memang tidak nyaman, dimanapun saya berada ketika telpun berbunyi dan nama Mina yang keluar saya langsung bertanya: " Umi kenapa?" dan langsung berlari menuju kendaraan,  namun ternyata Mina cuma memberi tahu hasil pemeriksaan laboratorium. saya membalas. "yang gitu2 ga usah melalui telp tapi sms saja."  Dia kembali tertawa sambil berkata:  "dasar ami' cengeng."   

Namun ketika sang nenek telah selesai dikafankan dan jenazahnyapun segera akan dibawa kepemakaman, suster yang telaten merawatnya itu tak lagi punya tawa, dari malam hari sampai esoknya dia tak mau jauh dari jenazah,  dia terjatuh berkali kali menangis tiada  henti, saya mendiamkan membiarkan Mina melepaskan semua kesedihannya. Kesedihan adalah sesuatu yang wajar terutama bila orang yang wafat  itu adalah bagian dari kehidupan kita sendiri.

Jum'at 6 Oktober 2012  ramai tamu perempuan berdatangan dari pagi hingga malam hari, ketika pesta bermula, alunan  musik dimainkan wajahnya sumringah, seorang laki laki dengan cara yang baik dengan maksud yang baik datang  melamarnya dengan cara yang elegan. Laki -laki itu datang sendiri menemui keluarga memberi tahu maksudnya dan kami menerimanya dengan doa semoga menjadi kebaikan untuk keduanya.

Seluruh kerabat datang memberikan ucapan selamat, juga para sepupunya. Lalu menjelang diakhir acara, Luthfi adik sepupunya datang agak terlambat walaupun jam penerbangan sudah diatur sesuai dengan waktu namun kemacetan jakarta hari itu memang parah, Luthfi masuk kerumah menghampiri kakak sepupunya yang sedang duduk dalam hiasan baju pengantin, memberikan selamat lalu  memberikan hadiah lukisan berupa wajah Mina yang sedang tersenyum sebagaimana khas wajah sang suster. Kemudian semua adik sepupunya maju menghampirinya menghadiahkan cincin sebagai sebuah tanda ikatan keluarga yang tak pernah terpisahkan.

Semua berjalan sesuai dengan apa yang dinginkan oleh sang suster yang dari masih remaja ini sudah menjadi yatim,  namun dibalik senda gurau dan canda meriahnya sebuah pesta ada satu bagian hati yang kosong yang semua keluarga dekat  mengalaminya. Satu bangku yang biasanya ditempati sang nenek kali ini kosong, namun doa sang Umi yang diucapkan menjelang ajalnya tiba terkabulkan sudah.  “Insya Allah  gak lama lagi Minah akan mendapat jodoh orang yang baik.”  Ucapan berupa doa dari sang Umi  kini telah terwujud.