Minggu, 06 Desember 2009

Dan Mia Pun Menikah.

Matahari pagi menghampirimu, henna memenuhi tanganmu dan senyum diwajah semua orang yang memandangmu.

Menjelang hari bahagia. Mamah, halati, amati, Jiddah, saudara sepupu dan semua kerabat wira wiri dalam kesibukan yang super super sibuk diantara rangkaian bunga bunga, kueh kueh yang berjajar, puluhan piring dan gelas yang harus ditata dengan baik dan apik, ada canda ria dan riuh rendah suara tawa diantara para wanita.

Hari menjelang pernikahan sebuah tradisi bernama "malam pacar" dipersiapakan dan digelar yang tak ubahnya seperti malam melepas seorang gadis. Ada senyum bahagia ada canda teman sebaya.
Mia si cantik yang teriakannya jarang diindahkan oleh empat "adik" laki laki sepupunyanya. Tapi juga yang pertama diingat bila mereka bepergian untuk sebuah oleh oleh. Yang permintaannya tidak pernah ditolak bila sesekali Mia meminta ditemani menonton film ataupun belanja ke pasar.

Mia yang lembut hatinya terlalu baik untuk menyatakan kemarahan. Tegurannya hanya membuat anak anak laki bandel cuma tersenyum. Mia si pemilik tangan yang menjadi rebutan anak anak kecil untuk dipeluknya. Yang dengan cepat berdiri bila melihat neneknya yang dipanggilnya Umi bangun dari tidurnya atau dari tempat duduknya, mengantarnya kekamar mandi maupun mengambil makanan atau meminumkannya obat.
Lebih memilih melaksanakan kewajiban tapi tak banyak memilki tuntutan.
Mia lebih memilih pulang kerumah untuk melihat Uminya ketimbang berpergian dengan teman selepas kuliah.

Sabtu 14 november, tenda telah terpasang bangku bangku telah dijajarkan bunga bunga tersusun indah diberbagai sudut ruangan seperangkat alat musik dipanggung telah disiapkan.
Tamupun berdatangan memunuhi semua sudut ruangan di malam tradisi bernama malam pacar.

Ketika riasan pengantin telah selesai calon mempelai menuruni tangga untuk menemui para undangan, Luthfi sang adik sepupunya menuntunnya turun mengantarnya ke bangku yang sudah disiapkan. Ada getar hebat didada ibu mereka berdua maupun para kerabat dekat. Mereka faham hari hari yang mereka jalani selama bertahun tahun semenjak kanak kanak sampai mereka dewasa, Mia yang masih dikelas satu SMP menangis ketika adiknya itu terluka. Mia menghiburnya mengajaknya bicara merayunya untuk sesuap makanan ketika berhari hari Upi kecil sakit dan tak mau makan secuilpun. Menemaninya ketika empat adik sepupunya itu takut untuk dikhitan.

Ada pepatah mengatakan "memiliki anak perempuan ibarat memegang bara api." Para orang tua merawat anaknya dengan baik membesarkannya menyekolahkannya mengajarkan akhlak dan agama dan ketika anak itu dewasa, Orang tua berharap anak perempuannya mendapat suami yang baik yang bertanggung jawa dan menyayangiya seperti mereka merawatnya. Bukan suami yang suka menghinakan apa lagi yang ringan tangan.

Ada rasa sukur melepaskan seorang anak perempuan dari "pintu depan" diminta dan di lamar dengan cara yang baik oleh juga orang yang ber akhlak baik. Akan tetapi suasana batin tak bisa dibohongi melepas anak perempuan tak ubahnya seperti melepas belahan jiwa.

Ada banyak canda dikalangan kaum lelaki untuk berkata : "jangan takut dengan harim" (Isteri) dengan pemahaman yang "ekstreem." Dibalik kata kata itu ada kesan kesombongan ada kesan dominasi ada kesan power full tapi ada yang terlupa, dibalik kata yang mengandung pelecehan itu sadar atau tidak juga melecehkan bagian dari ibunya sendri.

Malam Pacar atau malam melepas Mia, satu persatu para orang tua bergantian menaruh daun pandan di telapak tangannya, para tante dan kerabatnya bergantian memberikan hadiah dan ditengah suasana itu, keempat adik laki laki sepepupunya.... Maju kedepan melewati para ibu yang duduk berkerumun .. salah satunya memegang sebuah kotak lalu kotak itu dibuka berisi sebuah jam tangan cantik... Tak ada yang tahu kapan membelinya dan dimana mereka membelinya, karena hadiah itu merupakan hasil patungan dari uang jajan yang mereka kumpulkan dihari hari kemarin untuk seorang kaka yang sangat mereka sayangi.