Rabu, 27 November 2013

“Suara seorang relawan yang tulus mengalahkan baliho sebesar apapun!”





Assalamu'alaikum wr wb dan salam sejahtera untuk semua.

Geisz chalifah yang saya hormati,

“Suara seorang relawan yang tulus mengalahkan baliho sebesar apapun!”

Itu kalimat dari seorang relawan dalam sebuah diskusi. Lantang ia ucapkan dan menghujam. Ia mengoyak pandangan tradisional yang mengungkung kita selama ini.

Dalam minggu-minggu terakhir ini saya bertemu ribuan saudara sebangsa yang hadir di berbagai forum. Semua hadir karena sama-sama mencintai Indonesia dan ingin berbuat sesuatu. Tidak satupun hadir karena uang transport, karena kaos, karena rupiah. Silaturahmi kita tak dibangun pakai rupiah, tapi pakai idealisme dan semangat untuk memajukan Indonesia. Idealisme dan semangat perjuangan itu tak ternilai harganya. Itu yang membedakan kumpulan kita.

Semua sukarela hadir, semua sukarela berbuat. Kita semua iuran waktu, iuran tenaga, iuran uang ataupun iuran keahlian. Ini mengingatkan kita bahwa Republik ini dibangun dengan semangat gotong-royong, semua turun tangan. Kini kita bangkit-kuatkan kembali tradisi mulia itu.

Di Timur Indonesia relawan turun tangan Makassar berinisiatif mengadakan acara dari “Dari Timur Kaum Muda Turun Tangan Untuk Indonesia”. Di tempat bersejarah, Gedung Mulo Makassar, semua merasakan aura positif anak muda yang menginginkan perubahan. Ruangan itu makin hangat karena dipadati oleh ratusan anak-anak muda. Juga di sebuah warung kopi di Makassar, berkumpul relawan dengan berbagai latar belakang. Semua nyatakan siap untuk turun tangan bersama.

Ribuan kilometer jauhnya dari Makassar, teman-teman relawan di Padang, Sumatera Barat menginisiasi pertemuan relawan turun tangan. Pertemuan itu sederhana, tapi ia pancarkan misi positif untuk bersama-sama turun tangan. Dari Padang saya khusus mampir ke rumah tempat kelahiran Bung Hatta. Dari lantai atas rumah itu, lahir seorang yang mengatasi kolonialime dari Nusantara.

Bermalam di rumah teman kuliah dulu di Yogya, di Nagari Kamang dekat Bukittinggi. Duduk bersila bersama Ninik Mamak dan warga di Nagari, mendengar banyak cerita tentang heroisme Perang Kamang; heroisme yang terlupakan dalam sejarah umum Indonesia.

Dari Tanah Sumatera, saya sempat mengunjungi Ciamis, secara geografis luasnya boleh kecil tapi semangat yang ia pancarkan tak terkira besarnya. Hati saya bergetar mendengarkan para santri di Ciamis menggelorakan lagu perjuangan yang diciptakan oleh teman-teman yang siap turun tangan di Pondok itu. Saya baru pertama kali dengar dan tidak mengira akan ada lagu menggugah muncul pagi itu. Teman relawan di Solo juga membuat lagu turun tangan.

Mendengar lagu-lagu tersebut muncul lagi perasaan bahwa republik ini seperti sebuah orkestra yang masing-masing orang dapat memiliki peran di dalamnya, masing-masing kita dapat turun tangan. Ini seperti sebuah orkestra angklung. Setiap orang pegang satu angklung dan saat bergerak dengan irama yang rancak maka ia akan menggemuruh sebagai sebuah gerakan nada yang luar biasa. Semua terlibat membunyikan dan semua menikmati sepenuh hati. Itulah ilustrasi gerakan yang sedang kita bangun, bukan ratusan penonton terpesona oleh pemain di panggung tapi semua bermain dan semua menikmati orkestra.

Saya mengapresiasi apa yang telah teman-teman dan kita semua kerjakan, kita semua relawan. Pada teman-teman relawan saya melihat ikhtiar kita untuk ikut turun tangan mengurus republik ini dapat terus kita lakukan.

Seperti saya sering kutip, "Penyimpangan, kejahatan bisa terus berlangsung bukan karena banyaknya orang jahat, tapi karena orang baik memilih diam dan mendiamkan". Geisz chalifah, saya dan kita semua telah memilih untuk tidak diam dan tidak mendiamkan. Kita ingin ubah agar Republik ini jadi teladan. Dan, kita semua bisa sama-sama mengatakan bahwa kita tidak tinggal diam, kita pilih berbuat.

Hari ini saya mengingat kembali apa yang dikatakan oleh salah seorang relawan di atas, “Suara seorang relawan yang tulus mengalahkan baliho sebesar apapun!”. Merefleksikan itu kembali setelah menjalani silaturahmi bersama relawan di berbagai kota saya makin yakin bahwa ucapan itu bukan jargon kosong belaka.

Mari kita besarkan, kita kirim pesan optimis bagi semua bahwa kita tidak tinggal diam. Ini barisan perjuangan, bukan barisan parade dalam sebuah upacara yang segalanya telah serba tertata. Rute di depan bisa terjal, bisa penuh tikungan dan jurang; tapi kita memilih untuk menempuh rute perjuangan. Kita akan jalani, akan berjuang dan selalu hadapi dengan semangat tinggi.

Saya tulis catatan ini di atas kereta Api dalam perjalanan dari Purwokerto ke Yogyakarta. Ya, di lintasan kereta yang kami lewati adalah sisi cerah Indonesia: anak-anak kecil yang main di sawah, yang main sepakbola dan berenang di sungai. Di sepanjang lintasan kereta ini mereka memang belum sejahtera. Tapi mari kita ikhtiarkan bahwa anak-anak yang kini bermain dalam kecerian dan kepolosan kelak bisa tersenyum lebih lebar karena merasakan manfaat kemajuan dan mensyukuri bahwa ada generasi kakak-kakaknya yang tidak tinggal diam, yang pilih berjuang. Misi ini masih panjang, dan suara teman-teman relawanlah yang membuat misi ini akan terus bergaung, suara tulus Geisz chalifah lah yang dapat mengalahkan baliho sebesar apapun.

Selamat untuk semua. Semangat kita tetap sama: syukuri perkembangan, perbaiki kekurangan dan siap turun tangan!

Salam hangat dari lintas kereta dekat Kutoarjo,

Anies Baswedan