Senin, 21 November 2016

Pondok Bantan Catatan Anies Baswedan



Pondok Ban Tan
oleh Anies Baswedan




Ya Nabi salam alaika . . .
Ya Rasul salam alaika . . .
Ya habibie salam alaika . . .
Shalawatullah alaika . . .

Sekitar seribu anak-anak menghampar di lapang rumput depan pondok. Lautan kerudung dan peci putih, melafalkan shalawat, khusuk dan menggema.
Suasana pondok Pesantren Ban Tan malam ini terasa unik. Pondok kecil ini dibangun di pedalaman Thailand Selatan. Utk mencapai-nya harus terbang dari Bangkok, jaraknya sekitar 750 km ke kota kecil Nakhon Si Thammarat lalu dari airport yang kecil itu, naik mobil kira2 satu jam ke pedalaman. Masuk di tengah2 desa-desa dan perkampungan umat Budha, disitu berdiri Pondok Ban Tan. Dibangun awal abad lalu dengan beberapa orang murid. Niatnya sederhana, menjaga aqidah umat Islam yg tersebar di kampung2 yang mayoritas penduduknya beragama Budha.
Melihat wajah anak-anak pondok, seperti kita sedang menatap masa depan. Anak-anak yang dititipkan orang tua-nya untuk sekolah ke Pondok, untuk menjaga sejarah kehadiran Islam di kerajaan Budha ini. Di propinsi ini mereka berdampingan dengan damai. Sebuah tradisi yang harus dijaga terus.


Malam ini, setelah berliku perjalanannya, seakan jadi salah satu event puncak utk keluarga pengasuh pondok ini.
Di awal tahun 1967 terjadi perdebatan panjang diantara para guru di Pondok ini. Anak tertua Haji Ismail, pemimpin pondok ini, jadi bahan perdebatan. Anak usia 17 tahun itu memenangkan bea-siswa AFS untuk sekolah SMA setahun di Amerika Serikat.
Pondok Ban Tan seakan goyah. Tak terbayangkan bagi mereka, dari perkampungan Muslim yang kecil, jauh dari keramaian, dan di pedalaman Thailand di tahun 1960an, cucu tertua pendiri Pondok akan dikirimkan ke Amerika. Umumnya santri-santri cerdas dikirim melanjutkan sekolah ke Jawa atau Kedah atau Kelantan; jika ada dana mereka akan dikirim ke Makkah atau Mesir. Tapi Amerika ?!?; tidak pernah terlintas di benak mereka akan mengirim santri belajar ke Amerika. Saat itu para guru di pondok terpecah pandangannya: separoh takut anak ini akan berubah bila dikirim ke negeri kufar (istilah yang digunakan dalam perdebatan itu), mereka tidak ingin kehilangan anak cerdas itu.
Setelah perdebatan panjang, Si Kakek, pendiri Pondok itu, mengatakan, “saya sudah didik cucu saya ini, saya percaya dia istiqomah dan saya ikhlas jika dia berangkat”. Ruang musyawarah di pondok itu jadi senyap. Tidak ada yang berani melawan fatwa Sang Guru. Haji Ismail, sang ayah, mengangguk setuju. Tidak lama kemudian berangkatlah anak muda tadi ke Amerika.
Tahun demi tahun lewat. Dan dugaan guru-guru Pondok itu terjadi: anak itu tidak pernah kembali jadi guru pondok. Dia tidak meneruskan mengelola warisan kakek dan ayahnya itu. Dia pergi jauh. Anak muda itu terlempar ke orbit lain.
Malam ini anak yang dulu diperdebatkan itu pulang. Dia pulang bukan sebagai orang asing, dia pulang membawa kebanggaan untuk seluruh keluarga, seluruh pondok dan seluruh rakyat di propinsi kecil ini.

Dia pulang sebagai Sekretaris Jendral ASEAN. Pondok Ban Tan jadi terkenal, kampung halaman jadi perhatian dunia. Sebelumnya dia adalah menteri luar negeri Thailand, muslim pertama yang jadi Menlu di Negara berpenduduk mayoritas Budha.
Namanya dikenal oleh dunia sebagai Surin Pitsuwan; dikampungnya dia dikenal sebagai Abdul Halim bin Ismail.
Malam ini Surin pulang kampung membawa teman dan koleganya. Sekarang seluruh bangunan Pondok ini nampak megah. Setiap bangunan adalah dukungan dari berbagai negara. Anak ini pulang dengan membawa dukungan dunia utk Pondok mungil di pedalaman ini. Semua adiknya menjadi guru, meneruskan tradisi dakwah di kampung halamannya.
Saya menyaksikan bahwa sesungguhnya, Surin selalu “hadir” disini, dia membawa dunia. Dia menjadi jembatan lintas peradaban, dia jadi duta Muslim Thailand di dunia.
Dia tidak pernah hilang seperti ditakutkan guru-gurunya. Dia masih persis seperti kata Kakeknya. Sejak pertama kali saya ngobrol dengan Surin, 3 tahun lalu di Hanoi, tutur kata dan pikirannya seakan mengatakan: isyhadu bi ana muslimin.
Ramadhan kemarin, saat kita makan malam -Ifthar bersama- di Bangkok, Surin cerita tentang ASEAN Muslim Research Organization Network (AMRON) conference di Walailak University dan ingin undang ke Pondoknya awal Oktober. Saya jawab tidak bisa karena ada rencana acara di Bandung. Sesudah itu, dia kirim beberapa sms meyakinkan bahwa ke “Ban-Tan” lebih utama daripada ke “Ban-Dung”.

Saat duduk di Masjid Al-Khalid, bersama ratusan santri, bersyukur rasanya merubah jadwal, dari ke Bandung jadi berangkat ke Ban Tan. Saya sholat Isya’ berjamaah duduk disamping Surin, selesai sholat ratusan tangan mengulur, semua berebut salaman dengannya. Wajah takjub santri-santri itu tidak bisa disembunyikan, mereka semua seakan ingin bisa seperti Surin. Dia seakan jadi visualisasi nyata, dari mimpi-mimpi para santri di kampung kecil di pedalaman Thailand.
Malam itu, di pelataran Pondok Ban Tan dibuatkan panggung utk menyambut. Santri-santri bergantian naik panggung. Mereka ragakan kemahiran bercakap melayu, inggris dan arab. Sebagai puncak acara mereka tampilkan Leke Hulu (Dzikir Hulu). Tradisi tarikat yang sudah dijadikan seni panggung. Seluruh santri ikut berdzikir, gemuruhnya menggetarkan dada.
Besok paginya Syaikhul Islam Thailand, pemimpin Muslim tertinggi di Thailand khusus datang dari Songklah, kota di sisi selatan, untuk sarapan pagi bersama di Pondoknya. Kita ngobrol panjang dan saya tanya asal keturunannya, karena garis wajahnya berbeda; dia jawab kakek saya dari Sumatera, tapi dia keturunan Hadramauth.
Hari itu saya bersyukur. Saya katakan itu pada Surin bahwa ini perjalanan luar biasa. Tapi dia belum puas, Surin panggil salah satu alumni pondoknya (seorang doktor ilmu management) untuk antarkan saya ke Masjid di kampung-kampung pesisir pantai untuk dikenalkan dengan Ustadz keturunan Minang.

Setelah melewati kampung-kampung dan pasar yang sangat-sangat sederhana, saya sampai di rumahnya yang sangat sederhana, di belakang Madrasah yg dipimpinnya. Kita berdiskusi tentang suasana disini, tentang Minang, dan tentang kemajuan. Lalu dia ambil bingkai-bingkai dari lemari, dia tunjukkan beberapa foto-foto orang tuanya, ayahnya dipaksa hijrah dari Maninjau di Ranah Minang karena perlawanan pada Belanda. Kira-kira 90 tahun yang lalu, dia sampai di Thailand Selatan dan jadi guru agama. Mengagumkan, anak-anak muda pemberani memang selalu jadi pilar kokohnya Dienul Islam. Mereka hadir dan hidup berdampingan penuh kedamaian.
Lengkap sudah perjalanan kali ini. Dalam satu rotasi ditemukan dengan komunitas yang kontras. Di Kuala Lumpur, berdialog dengan kalangan bisnis dan politik dalam ASEAN 100 Leadership Forum dengan suasana megah, di Thailand Selatan berdialog dengan kaum Muslim minoritas dengan suasana sederhana, sangat bersahaja.
Sekali lagi kita ditunjukan betapa hebatnya efek pendidikan. Beri fondasi aqidah, bekali dengan modal akhlaqul karimah lalu biarkan anak muda terbang mencari ilmu, membangun network, merajut masa depan. Anak muda tidak takut menyongsong masa depan. Kelak ia akan pulang, menjawab doa ibunya, menjawab doa ayahnya dengan membawa ilmu, membawa manfaat bagi kampung halamannya, bagi negerinya dan bagi umatnya.
Di airport kita berpisah. Saya pulang  kampung ke Jakarta dan Surin berangkat ke Brussel, memimpin delegasi para kepala pemerintahan ASEAN dalam ASEAN-European Summit.
Hari ini anak yang dulu ditakutkan hilang itu akan memimpin delegasi pemimpin se-Asia Tenggara. Dan, pada hari ini juga Ibunya masih tetap tinggal di pondok Ban Tan, sekitar 90 tahun, tetap mendoakan anaknya seperti saat melepasnya berangkat sekolah SMA ke Amerika dulu.
Barakallahu lakum . . . .

Just landed in Jakarta;  Oct 4, 2010; 00.30 am. (Sekadar catatan pendek, sebuah perjalanan singkat. Ditulis dalam perjalanan)
Ya Nabi salam alaika . . . Ya Rasul salam alaika . . . Ya habibie salam alaika . . . Shalawatullah alaika . . . Sekitar seribu anak-anak menghampar di lapang rumput depan pondok. Lautan kerudung dan peci putih, melafalkan shalawat, khusuk dan menggema. Suasana pondok Pesantren Ban Tan malam ini terasa unik. Pondok kecil ini dibangun di pedalaman Thailand Selatan. Utk mencapai-nya harus terbang dari Bangkok, jaraknya sekitar 750 km ke kota kecil Nakhon Si Thammarat lalu dari airport yang kecil itu, naik mobil kira2 satu jam ke pedalaman. Masuk di tengah2 desa-desa dan perkampungan umat Budha, disitu berdiri Pondok Ban Tan. Dibangun awal abad lalu dengan beberapa orang murid. Niatnya sederhana, menjaga aqidah umat Islam yg tersebar di kampung2 yang mayoritas penduduknya beragama Budha.Melihat wajah anak-anak pondok, seperti kita sedang menatap masa depan. Anak-anak yang dititipkan orang tua-nya untuk sekolah ke Pondok, untuk menjaga sejarah kehadiran Islam di kerajaan Budha ini. Di propinsi ini mereka berdampingan dengan damai. Sebuah tradisi yang harus dijaga terus. Malam ini, setelah berliku perjalanannya, seakan jadi salah satu event puncak utk keluarga pengasuh pondok ini. Di awal tahun 1967 terjadi perdebatan panjang diantara para guru di Pondok ini. Anak tertua Haji Ismail, pemimpin pondok ini, jadi bahan perdebatan. Anak usia 17 tahun itu memenangkan bea-siswa AFS untuk sekolah SMA setahun di Amerika Serikat. Pondok Ban Tan seakan goyah. Tak terbayangkan bagi mereka, dari perkampungan Muslim yang kecil, jauh dari keramaian, dan di pedalaman Thailand di tahun 1960an, cucu tertua pendiri Pondok akan dikirimkan ke Amerika. Umumnya santri-santri cerdas dikirim melanjutkan sekolah ke Jawa atau Kedah atau Kelantan; jika ada dana mereka akan dikirim ke Makkah atau Mesir. Tapi Amerika ?!?; tidak pernah terlintas di benak mereka akan mengirim santri belajar ke Amerika. Saat itu para guru di pondok terpecah pandangannya: separoh takut anak ini akan berubah bila dikirim ke negeri kufar (istilah yang digunakan dalam perdebatan itu), mereka tidak ingin kehilangan anak cerdas itu. Setelah perdebatan panjang, Si Kakek, pendiri Pondok itu, mengatakan, “saya sudah didik cucu saya ini, saya percaya dia istiqomah dan saya ikhlas jika dia berangkat”. Ruang musyawarah di pondok itu jadi senyap. Tidak ada yang berani melawan fatwa Sang Guru. Haji Ismail, sang ayah, mengangguk setuju. Tidak lama kemudian berangkatlah anak muda tadi ke Amerika. Tahun demi tahun lewat. Dan dugaan guru-guru Pondok itu terjadi: anak itu tidak pernah kembali jadi guru pondok. Dia tidak meneruskan mengelola warisan kakek dan ayahnya itu. Dia pergi jauh. Anak muda itu terlempar ke orbit lain. Malam ini anak yang dulu diperdebatkan itu pulang. Dia pulang bukan sebagai orang asing, dia pulang membawa kebanggaan untuk seluruh keluarga, seluruh pondok dan seluruh rakyat di propinsi kecil ini. Dia pulang sebagai Sekretaris Jendral ASEAN. Pondok Ban Tan jadi terkenal, kampung halaman jadi perhatian dunia. Sebelumnya dia adalah menteri luar negeri Thailand, muslim pertama yang jadi Menlu di Negara berpenduduk mayoritas Budha. Namanya dikenal oleh dunia sebagai Surin Pitsuwan; dikampungnya dia dikenal sebagai Abdul Halim bin Ismail. Malam ini Surin pulang kampung membawa teman dan koleganya. Sekarang seluruh bangunan Pondok ini nampak megah. Setiap bangunan adalah dukungan dari berbagai negara. Anak ini pulang dengan membawa dukungan dunia utk Pondok mungil di pedalaman ini. Semua adiknya menjadi guru, meneruskan tradisi dakwah di kampung halamannya. Saya menyaksikan bahwa sesungguhnya, Surin selalu “hadir” disini, dia membawa dunia. Dia menjadi jembatan lintas peradaban, dia jadi duta Muslim Thailand di dunia. Dia tidak pernah hilang seperti ditakutkan guru-gurunya. Dia masih persis seperti kata Kakeknya. Sejak pertama kali saya ngobrol dengan Surin, 3 tahun lalu di Hanoi, tutur kata dan pikirannya seakan mengatakan: isyhadu bi ana muslimin. Ramadhan kemarin, saat kita makan malam -Ifthar bersama- di Bangkok, Surin cerita tentang ASEAN Muslim Research Organization Network (AMRON) conference di Walailak University dan ingin undang ke Pondoknya awal Oktober. Saya jawab tidak bisa karena ada rencana acara di Bandung. Sesudah itu, dia kirim beberapa sms meyakinkan bahwa ke “Ban-Tan” lebih utama daripada ke “Ban-Dung”. Saat duduk di Masjid Al-Khalid, bersama ratusan santri, bersyukur rasanya merubah jadwal, dari ke Bandung jadi berangkat ke Ban Tan. Saya sholat Isya’ berjamaah duduk disamping Surin, selesai sholat ratusan tangan mengulur, semua berebut salaman dengannya. Wajah takjub santri-santri itu tidak bisa disembunyikan, mereka semua seakan ingin bisa seperti Surin. Dia seakan jadi visualisasi nyata, dari mimpi-mimpi para santri di kampung kecil di pedalaman Thailand. Malam itu, di pelataran Pondok Ban Tan dibuatkan panggung utk menyambut. Santri-santri bergantian naik panggung. Mereka ragakan kemahiran bercakap melayu, inggris dan arab. Sebagai puncak acara mereka tampilkan Leke Hulu (Dzikir Hulu). Tradisi tarikat yang sudah dijadikan seni panggung. Seluruh santri ikut berdzikir, gemuruhnya menggetarkan dada. Besok paginya Syaikhul Islam Thailand, pemimpin Muslim tertinggi di Thailand khusus datang dari Songklah, kota di sisi selatan, untuk sarapan pagi bersama di Pondoknya. Kita ngobrol panjang dan saya tanya asal keturunannya, karena garis wajahnya berbeda; dia jawab kakek saya dari Sumatera, tapi dia keturunan Hadramauth. Hari itu saya bersyukur. Saya katakan itu pada Surin bahwa ini perjalanan luar biasa. Tapi dia belum puas, Surin panggil salah satu alumni pondoknya (seorang doktor ilmu management) untuk antarkan saya ke Masjid di kampung-kampung pesisir pantai untuk dikenalkan dengan Ustadz keturunan Minang. Setelah melewati kampung-kampung dan pasar yang sangat-sangat sederhana, saya sampai di rumahnya yang sangat sederhana, di belakang Madrasah yg dipimpinnya. Kita berdiskusi tentang suasana disini, tentang Minang, dan tentang kemajuan. Lalu dia ambil bingkai-bingkai dari lemari, dia tunjukkan beberapa foto-foto orang tuanya, ayahnya dipaksa hijrah dari Maninjau di Ranah Minang karena perlawanan pada Belanda. Kira-kira 90 tahun yang lalu, dia sampai di Thailand Selatan dan jadi guru agama. Mengagumkan, anak-anak muda pemberani memang selalu jadi pilar kokohnya Dienul Islam. Mereka hadir dan hidup berdampingan penuh kedamaian. Lengkap sudah perjalanan kali ini. Dalam satu rotasi ditemukan dengan komunitas yang kontras. Di Kuala Lumpur, berdialog dengan kalangan bisnis dan politik dalam ASEAN 100 Leadership Forum dengan suasana megah, di Thailand Selatan berdialog dengan kaum Muslim minoritas dengan suasana sederhana, sangat bersahaja. Sekali lagi kita ditunjukan betapa hebatnya efek pendidikan. Beri fondasi aqidah, bekali dengan modal akhlaqul karimah lalu biarkan anak muda terbang mencari ilmu, membangun network, merajut masa depan. Anak muda tidak takut menyongsong masa depan. Kelak ia akan pulang, menjawab doa ibunya, menjawab doa ayahnya dengan membawa ilmu, membawa manfaat bagi kampung halamannya, bagi negerinya dan bagi umatnya. Di airport kita berpisah. Saya pulang kampung ke Jakarta dan Surin berangkat ke Brussel, memimpin delegasi para kepala pemerintahan ASEAN dalam ASEAN-European Summit. Hari ini anak yang dulu ditakutkan hilang itu akan memimpin delegasi pemimpin se-Asia Tenggara. Dan, pada hari ini juga Ibunya masih tetap tinggal di pondok Ban Tan, sekitar 90 tahun, tetap mendoakan anaknya seperti saat melepasnya berangkat sekolah SMA ke Amerika dulu. Barakallahu lakum . . . . Just landed in Jakarta; Oct 4, 2010; 00.30 am.(Sekadar catatan pendek, sebuah perjalanan singkat. Ditulis di pesawat dalam perjalanan pulang ke Jakarta)

source: http://www.ocidbrass.com. Read more at http://www.ocidbrass.com/catatan-perjalanan-pondok-ban-tan-by-anies-baswedan/ .

Pondok Bantan Catatan Anies Baswedan


Pondok Ban Tan
oleh Anies Baswedan




Ya Nabi salam alaika . . .
Ya Rasul salam alaika . . .
Ya habibie salam alaika . . .
Shalawatullah alaika . . .

Sekitar seribu anak-anak menghampar di lapang rumput depan pondok. Lautan kerudung dan peci putih, melafalkan shalawat, khusuk dan menggema.
Suasana pondok Pesantren Ban Tan malam ini terasa unik. Pondok kecil ini dibangun di pedalaman Thailand Selatan. Utk mencapai-nya harus terbang dari Bangkok, jaraknya sekitar 750 km ke kota kecil Nakhon Si Thammarat lalu dari airport yang kecil itu, naik mobil kira2 satu jam ke pedalaman. Masuk di tengah2 desa-desa dan perkampungan umat Budha, disitu berdiri Pondok Ban Tan. Dibangun awal abad lalu dengan beberapa orang murid. Niatnya sederhana, menjaga aqidah umat Islam yg tersebar di kampung2 yang mayoritas penduduknya beragama Budha.
Melihat wajah anak-anak pondok, seperti kita sedang menatap masa depan. Anak-anak yang dititipkan orang tua-nya untuk sekolah ke Pondok, untuk menjaga sejarah kehadiran Islam di kerajaan Budha ini. Di propinsi ini mereka berdampingan dengan damai. Sebuah tradisi yang harus dijaga terus.


Malam ini, setelah berliku perjalanannya, seakan jadi salah satu event puncak utk keluarga pengasuh pondok ini.
Di awal tahun 1967 terjadi perdebatan panjang diantara para guru di Pondok ini. Anak tertua Haji Ismail, pemimpin pondok ini, jadi bahan perdebatan. Anak usia 17 tahun itu memenangkan bea-siswa AFS untuk sekolah SMA setahun di Amerika Serikat.
Pondok Ban Tan seakan goyah. Tak terbayangkan bagi mereka, dari perkampungan Muslim yang kecil, jauh dari keramaian, dan di pedalaman Thailand di tahun 1960an, cucu tertua pendiri Pondok akan dikirimkan ke Amerika. Umumnya santri-santri cerdas dikirim melanjutkan sekolah ke Jawa atau Kedah atau Kelantan; jika ada dana mereka akan dikirim ke Makkah atau Mesir. Tapi Amerika ?!?; tidak pernah terlintas di benak mereka akan mengirim santri belajar ke Amerika. Saat itu para guru di pondok terpecah pandangannya: separoh takut anak ini akan berubah bila dikirim ke negeri kufar (istilah yang digunakan dalam perdebatan itu), mereka tidak ingin kehilangan anak cerdas itu.
Setelah perdebatan panjang, Si Kakek, pendiri Pondok itu, mengatakan, “saya sudah didik cucu saya ini, saya percaya dia istiqomah dan saya ikhlas jika dia berangkat”. Ruang musyawarah di pondok itu jadi senyap. Tidak ada yang berani melawan fatwa Sang Guru. Haji Ismail, sang ayah, mengangguk setuju. Tidak lama kemudian berangkatlah anak muda tadi ke Amerika.
Tahun demi tahun lewat. Dan dugaan guru-guru Pondok itu terjadi: anak itu tidak pernah kembali jadi guru pondok. Dia tidak meneruskan mengelola warisan kakek dan ayahnya itu. Dia pergi jauh. Anak muda itu terlempar ke orbit lain.
Malam ini anak yang dulu diperdebatkan itu pulang. Dia pulang bukan sebagai orang asing, dia pulang membawa kebanggaan untuk seluruh keluarga, seluruh pondok dan seluruh rakyat di propinsi kecil ini.

Dia pulang sebagai Sekretaris Jendral ASEAN. Pondok Ban Tan jadi terkenal, kampung halaman jadi perhatian dunia. Sebelumnya dia adalah menteri luar negeri Thailand, muslim pertama yang jadi Menlu di Negara berpenduduk mayoritas Budha.
Namanya dikenal oleh dunia sebagai Surin Pitsuwan; dikampungnya dia dikenal sebagai Abdul Halim bin Ismail.
Malam ini Surin pulang kampung membawa teman dan koleganya. Sekarang seluruh bangunan Pondok ini nampak megah. Setiap bangunan adalah dukungan dari berbagai negara. Anak ini pulang dengan membawa dukungan dunia utk Pondok mungil di pedalaman ini. Semua adiknya menjadi guru, meneruskan tradisi dakwah di kampung halamannya.
Saya menyaksikan bahwa sesungguhnya, Surin selalu “hadir” disini, dia membawa dunia. Dia menjadi jembatan lintas peradaban, dia jadi duta Muslim Thailand di dunia.
Dia tidak pernah hilang seperti ditakutkan guru-gurunya. Dia masih persis seperti kata Kakeknya. Sejak pertama kali saya ngobrol dengan Surin, 3 tahun lalu di Hanoi, tutur kata dan pikirannya seakan mengatakan: isyhadu bi ana muslimin.
Ramadhan kemarin, saat kita makan malam -Ifthar bersama- di Bangkok, Surin cerita tentang ASEAN Muslim Research Organization Network (AMRON) conference di Walailak University dan ingin undang ke Pondoknya awal Oktober. Saya jawab tidak bisa karena ada rencana acara di Bandung. Sesudah itu, dia kirim beberapa sms meyakinkan bahwa ke “Ban-Tan” lebih utama daripada ke “Ban-Dung”.

Saat duduk di Masjid Al-Khalid, bersama ratusan santri, bersyukur rasanya merubah jadwal, dari ke Bandung jadi berangkat ke Ban Tan. Saya sholat Isya’ berjamaah duduk disamping Surin, selesai sholat ratusan tangan mengulur, semua berebut salaman dengannya. Wajah takjub santri-santri itu tidak bisa disembunyikan, mereka semua seakan ingin bisa seperti Surin. Dia seakan jadi visualisasi nyata, dari mimpi-mimpi para santri di kampung kecil di pedalaman Thailand.
Malam itu, di pelataran Pondok Ban Tan dibuatkan panggung utk menyambut. Santri-santri bergantian naik panggung. Mereka ragakan kemahiran bercakap melayu, inggris dan arab. Sebagai puncak acara mereka tampilkan Leke Hulu (Dzikir Hulu). Tradisi tarikat yang sudah dijadikan seni panggung. Seluruh santri ikut berdzikir, gemuruhnya menggetarkan dada.
Besok paginya Syaikhul Islam Thailand, pemimpin Muslim tertinggi di Thailand khusus datang dari Songklah, kota di sisi selatan, untuk sarapan pagi bersama di Pondoknya. Kita ngobrol panjang dan saya tanya asal keturunannya, karena garis wajahnya berbeda; dia jawab kakek saya dari Sumatera, tapi dia keturunan Hadramauth.
Hari itu saya bersyukur. Saya katakan itu pada Surin bahwa ini perjalanan luar biasa. Tapi dia belum puas, Surin panggil salah satu alumni pondoknya (seorang doktor ilmu management) untuk antarkan saya ke Masjid di kampung-kampung pesisir pantai untuk dikenalkan dengan Ustadz keturunan Minang.

Setelah melewati kampung-kampung dan pasar yang sangat-sangat sederhana, saya sampai di rumahnya yang sangat sederhana, di belakang Madrasah yg dipimpinnya. Kita berdiskusi tentang suasana disini, tentang Minang, dan tentang kemajuan. Lalu dia ambil bingkai-bingkai dari lemari, dia tunjukkan beberapa foto-foto orang tuanya, ayahnya dipaksa hijrah dari Maninjau di Ranah Minang karena perlawanan pada Belanda. Kira-kira 90 tahun yang lalu, dia sampai di Thailand Selatan dan jadi guru agama. Mengagumkan, anak-anak muda pemberani memang selalu jadi pilar kokohnya Dienul Islam. Mereka hadir dan hidup berdampingan penuh kedamaian.
Lengkap sudah perjalanan kali ini. Dalam satu rotasi ditemukan dengan komunitas yang kontras. Di Kuala Lumpur, berdialog dengan kalangan bisnis dan politik dalam ASEAN 100 Leadership Forum dengan suasana megah, di Thailand Selatan berdialog dengan kaum Muslim minoritas dengan suasana sederhana, sangat bersahaja.
Sekali lagi kita ditunjukan betapa hebatnya efek pendidikan. Beri fondasi aqidah, bekali dengan modal akhlaqul karimah lalu biarkan anak muda terbang mencari ilmu, membangun network, merajut masa depan. Anak muda tidak takut menyongsong masa depan. Kelak ia akan pulang, menjawab doa ibunya, menjawab doa ayahnya dengan membawa ilmu, membawa manfaat bagi kampung halamannya, bagi negerinya dan bagi umatnya.
Di airport kita berpisah. Saya pulang  kampung ke Jakarta dan Surin berangkat ke Brussel, memimpin delegasi para kepala pemerintahan ASEAN dalam ASEAN-European Summit.
Hari ini anak yang dulu ditakutkan hilang itu akan memimpin delegasi pemimpin se-Asia Tenggara. Dan, pada hari ini juga Ibunya masih tetap tinggal di pondok Ban Tan, sekitar 90 tahun, tetap mendoakan anaknya seperti saat melepasnya berangkat sekolah SMA ke Amerika dulu.
Barakallahu lakum . . . .

Just landed in Jakarta;  Oct 4, 2010; 00.30 am. (Sekadar catatan pendek, sebuah perjalanan singkat. Ditulis dalam perjalanan)
Ya Nabi salam alaika . . . Ya Rasul salam alaika . . . Ya habibie salam alaika . . . Shalawatullah alaika . . . Sekitar seribu anak-anak menghampar di lapang rumput depan pondok. Lautan kerudung dan peci putih, melafalkan shalawat, khusuk dan menggema. Suasana pondok Pesantren Ban Tan malam ini terasa unik. Pondok kecil ini dibangun di pedalaman Thailand Selatan. Utk mencapai-nya harus terbang dari Bangkok, jaraknya sekitar 750 km ke kota kecil Nakhon Si Thammarat lalu dari airport yang kecil itu, naik mobil kira2 satu jam ke pedalaman. Masuk di tengah2 desa-desa dan perkampungan umat Budha, disitu berdiri Pondok Ban Tan. Dibangun awal abad lalu dengan beberapa orang murid. Niatnya sederhana, menjaga aqidah umat Islam yg tersebar di kampung2 yang mayoritas penduduknya beragama Budha.Melihat wajah anak-anak pondok, seperti kita sedang menatap masa depan. Anak-anak yang dititipkan orang tua-nya untuk sekolah ke Pondok, untuk menjaga sejarah kehadiran Islam di kerajaan Budha ini. Di propinsi ini mereka berdampingan dengan damai. Sebuah tradisi yang harus dijaga terus. Malam ini, setelah berliku perjalanannya, seakan jadi salah satu event puncak utk keluarga pengasuh pondok ini. Di awal tahun 1967 terjadi perdebatan panjang diantara para guru di Pondok ini. Anak tertua Haji Ismail, pemimpin pondok ini, jadi bahan perdebatan. Anak usia 17 tahun itu memenangkan bea-siswa AFS untuk sekolah SMA setahun di Amerika Serikat. Pondok Ban Tan seakan goyah. Tak terbayangkan bagi mereka, dari perkampungan Muslim yang kecil, jauh dari keramaian, dan di pedalaman Thailand di tahun 1960an, cucu tertua pendiri Pondok akan dikirimkan ke Amerika. Umumnya santri-santri cerdas dikirim melanjutkan sekolah ke Jawa atau Kedah atau Kelantan; jika ada dana mereka akan dikirim ke Makkah atau Mesir. Tapi Amerika ?!?; tidak pernah terlintas di benak mereka akan mengirim santri belajar ke Amerika. Saat itu para guru di pondok terpecah pandangannya: separoh takut anak ini akan berubah bila dikirim ke negeri kufar (istilah yang digunakan dalam perdebatan itu), mereka tidak ingin kehilangan anak cerdas itu. Setelah perdebatan panjang, Si Kakek, pendiri Pondok itu, mengatakan, “saya sudah didik cucu saya ini, saya percaya dia istiqomah dan saya ikhlas jika dia berangkat”. Ruang musyawarah di pondok itu jadi senyap. Tidak ada yang berani melawan fatwa Sang Guru. Haji Ismail, sang ayah, mengangguk setuju. Tidak lama kemudian berangkatlah anak muda tadi ke Amerika. Tahun demi tahun lewat. Dan dugaan guru-guru Pondok itu terjadi: anak itu tidak pernah kembali jadi guru pondok. Dia tidak meneruskan mengelola warisan kakek dan ayahnya itu. Dia pergi jauh. Anak muda itu terlempar ke orbit lain. Malam ini anak yang dulu diperdebatkan itu pulang. Dia pulang bukan sebagai orang asing, dia pulang membawa kebanggaan untuk seluruh keluarga, seluruh pondok dan seluruh rakyat di propinsi kecil ini. Dia pulang sebagai Sekretaris Jendral ASEAN. Pondok Ban Tan jadi terkenal, kampung halaman jadi perhatian dunia. Sebelumnya dia adalah menteri luar negeri Thailand, muslim pertama yang jadi Menlu di Negara berpenduduk mayoritas Budha. Namanya dikenal oleh dunia sebagai Surin Pitsuwan; dikampungnya dia dikenal sebagai Abdul Halim bin Ismail. Malam ini Surin pulang kampung membawa teman dan koleganya. Sekarang seluruh bangunan Pondok ini nampak megah. Setiap bangunan adalah dukungan dari berbagai negara. Anak ini pulang dengan membawa dukungan dunia utk Pondok mungil di pedalaman ini. Semua adiknya menjadi guru, meneruskan tradisi dakwah di kampung halamannya. Saya menyaksikan bahwa sesungguhnya, Surin selalu “hadir” disini, dia membawa dunia. Dia menjadi jembatan lintas peradaban, dia jadi duta Muslim Thailand di dunia. Dia tidak pernah hilang seperti ditakutkan guru-gurunya. Dia masih persis seperti kata Kakeknya. Sejak pertama kali saya ngobrol dengan Surin, 3 tahun lalu di Hanoi, tutur kata dan pikirannya seakan mengatakan: isyhadu bi ana muslimin. Ramadhan kemarin, saat kita makan malam -Ifthar bersama- di Bangkok, Surin cerita tentang ASEAN Muslim Research Organization Network (AMRON) conference di Walailak University dan ingin undang ke Pondoknya awal Oktober. Saya jawab tidak bisa karena ada rencana acara di Bandung. Sesudah itu, dia kirim beberapa sms meyakinkan bahwa ke “Ban-Tan” lebih utama daripada ke “Ban-Dung”. Saat duduk di Masjid Al-Khalid, bersama ratusan santri, bersyukur rasanya merubah jadwal, dari ke Bandung jadi berangkat ke Ban Tan. Saya sholat Isya’ berjamaah duduk disamping Surin, selesai sholat ratusan tangan mengulur, semua berebut salaman dengannya. Wajah takjub santri-santri itu tidak bisa disembunyikan, mereka semua seakan ingin bisa seperti Surin. Dia seakan jadi visualisasi nyata, dari mimpi-mimpi para santri di kampung kecil di pedalaman Thailand. Malam itu, di pelataran Pondok Ban Tan dibuatkan panggung utk menyambut. Santri-santri bergantian naik panggung. Mereka ragakan kemahiran bercakap melayu, inggris dan arab. Sebagai puncak acara mereka tampilkan Leke Hulu (Dzikir Hulu). Tradisi tarikat yang sudah dijadikan seni panggung. Seluruh santri ikut berdzikir, gemuruhnya menggetarkan dada. Besok paginya Syaikhul Islam Thailand, pemimpin Muslim tertinggi di Thailand khusus datang dari Songklah, kota di sisi selatan, untuk sarapan pagi bersama di Pondoknya. Kita ngobrol panjang dan saya tanya asal keturunannya, karena garis wajahnya berbeda; dia jawab kakek saya dari Sumatera, tapi dia keturunan Hadramauth. Hari itu saya bersyukur. Saya katakan itu pada Surin bahwa ini perjalanan luar biasa. Tapi dia belum puas, Surin panggil salah satu alumni pondoknya (seorang doktor ilmu management) untuk antarkan saya ke Masjid di kampung-kampung pesisir pantai untuk dikenalkan dengan Ustadz keturunan Minang. Setelah melewati kampung-kampung dan pasar yang sangat-sangat sederhana, saya sampai di rumahnya yang sangat sederhana, di belakang Madrasah yg dipimpinnya. Kita berdiskusi tentang suasana disini, tentang Minang, dan tentang kemajuan. Lalu dia ambil bingkai-bingkai dari lemari, dia tunjukkan beberapa foto-foto orang tuanya, ayahnya dipaksa hijrah dari Maninjau di Ranah Minang karena perlawanan pada Belanda. Kira-kira 90 tahun yang lalu, dia sampai di Thailand Selatan dan jadi guru agama. Mengagumkan, anak-anak muda pemberani memang selalu jadi pilar kokohnya Dienul Islam. Mereka hadir dan hidup berdampingan penuh kedamaian. Lengkap sudah perjalanan kali ini. Dalam satu rotasi ditemukan dengan komunitas yang kontras. Di Kuala Lumpur, berdialog dengan kalangan bisnis dan politik dalam ASEAN 100 Leadership Forum dengan suasana megah, di Thailand Selatan berdialog dengan kaum Muslim minoritas dengan suasana sederhana, sangat bersahaja. Sekali lagi kita ditunjukan betapa hebatnya efek pendidikan. Beri fondasi aqidah, bekali dengan modal akhlaqul karimah lalu biarkan anak muda terbang mencari ilmu, membangun network, merajut masa depan. Anak muda tidak takut menyongsong masa depan. Kelak ia akan pulang, menjawab doa ibunya, menjawab doa ayahnya dengan membawa ilmu, membawa manfaat bagi kampung halamannya, bagi negerinya dan bagi umatnya. Di airport kita berpisah. Saya pulang kampung ke Jakarta dan Surin berangkat ke Brussel, memimpin delegasi para kepala pemerintahan ASEAN dalam ASEAN-European Summit. Hari ini anak yang dulu ditakutkan hilang itu akan memimpin delegasi pemimpin se-Asia Tenggara. Dan, pada hari ini juga Ibunya masih tetap tinggal di pondok Ban Tan, sekitar 90 tahun, tetap mendoakan anaknya seperti saat melepasnya berangkat sekolah SMA ke Amerika dulu. Barakallahu lakum . . . . Just landed in Jakarta; Oct 4, 2010; 00.30 am.(Sekadar catatan pendek, sebuah perjalanan singkat. Ditulis di pesawat dalam perjalanan pulang ke Jakarta)

source: http://www.ocidbrass.com. Read more at http://www.ocidbrass.com/catatan-perjalanan-pondok-ban-tan-by-anies-baswedan/ .

Sabtu, 23 Mei 2015

Faizal Motik (bang Ical) Wajah Lain Anak Menteng.


Faizal Motik namanya lebih dikenal dgn panggilan bang Ical, menulis nama itu dan bercerita tentang orangnya bisa menghabiskan berpuluh puluh lembar halaman. Ada banyak cerita tentang bang Ical yg saya kenal, yg teman-teman kenal, yang kita semua kenal.   Figur mengesankan ini bukan tokoh politik, bukan pejabat pemerintah. Ketokohannya terkesan unik  dia lebih merupakan tokoh anak orang kaya yang dengan segudang fasilitas.  Cerdas, aktifis, bertempat tinggal di Menteng  (jalan Banyumas) dan dengan segala perangkat yang dimilikinya itu, nama besar orang tua, jaringan , rumah, villa dan banyak hal lainnya. Semuanya itu dimanfaatkan seluruhnya untuk pengembangan anak – anak muda muslim. 

Bang Ical  mendirikan Remaja Islam Masjid Sunda Kelapa (RISKA), Mendirikan ISAFIS (Indonesian Student Asociation For International Studies. ) dan banyak lagi organisasi lain yang didirikannya. Namun yang dua saya sebut diatas itu, setelah 30 tahun lebih  tetap tegak berdiri dengan aktifitas yang terus berlangsung sampai hari ini.

Dalam banyak hal ketokohan bang Ical lebih sebagai motivator anak-anak muda muslim agar lebih percaya diri.  Dalam pola bergaulnya tak da orang hebat di hadapannya, baik itu, Jendral, Mentri atau siapapun semua orang  berada didepannya menjadi sama saja. Bahkan Dubes Negara – Negara besar didunia seperti Amerika maupun Inggris tidak mendapat keistimewaan berlebihan.  

Alumni fakultas hukum UI ini punya segudang ide dalam mensiasati suasana politik yang menekan  umat Islam,  terutama anak anak muda mahasiswa muslim yang tak puas dengan keadaan. Bila mencari tempat diskusi menjadi tidak aman dimana mana, harus punya ijin dan lain lain yang berisiko dibubarkan laksus dimasa 80an, maka berdiskusi dirumahnya adalah tempat yang paling aman tak ada tentara datang menggerebek rumah di jalan Banyumas itu.  Dia menjalin hubungan yang akrab dengan elit politik sambil terus melindungi dan memotivasi yuniornya untuk  mengembangkan diri.
Bagi kami para alumni ISAFIS rumah itu adalah rumah pencerahan dalam arti sesungguhnya sebagaimana HOS Tjokroaminoto membuka pintu rumahnya lebar lebar pada aktifis kemerdekaan dizamannya.

Bila berdskusi masalah dalam negri menjadi masalah bagi aparat keamanan dimasa itu, maka dengan ISAFIS   sebelumnya bernama (ISA Of Indonesia) maka kami bisa berdiskusi dengan leluasa diberbagai tempat bahkan difasilitasi  oleh Kemenlu dan berbagai Kedubes yang ada di Jakarta.  Karena kajiannya lebih focus pada masalah masalah Internasional.

Di pertengahan 80an bang Ical mendirikan  Pokja Golkar bersama Sarwono Kusumatmadja, Yasril Ananta Baharudin, Marzuki Darusman, Fuad Hasan, dll. Faizal Motik menjadi Koordinator Eksekutif  dalam setiap acara yang dihadiri oleh elit negri  baik anggota DPR, Panglima Abri, maupun Mentri – Mentri yang terkait selalunya  ia membawa  yunior – yuniornya baik dari ISAFIS maupun dari HMI yang masih berstatus mahasiswa untuk acara acara semacam itu.  Uniknya tidak ada satupun yuniornya diijinkan untuk duduk dibagian belakang selalunya diajak duduk dibarisan terdepan untuk menunjukkan semua manusia itu sama saja, mau mentri ataupun pejabat lainnya, dengan  yuniornya yang berpenampilan relativ “kumel” dibanding para pejabat yang hadir.
Ia (bang Ical) memberi pendidikan percaya diri dalam praktek, bukan retorika yang biasanya dilakukan oleh motivator dimimbar.


Menjelang pemilu dimasa itu,  Sarwono Kusumaatmadja menghubunginya mengabarkan untuk mencalonkan  bang Ical untuk menjadi calon anggota DPR dari Golkar yang tentu saja nomornya adalah nomor jadi (urutan atas), yang serta merta ditolak olehnya. Sarwono dan Yasril  tentu saja bertanya  alasan penolakannya disertai pertanyaan : ngapain elo capek-capek  jadi koordinator pokja Golkar kalau gak mau jadi anggota DPR ?  Bang Ical dengan nyantai berkata : gue cuma kepingin Golkar sebagai partai besar ngerti masalah global yang kedua supaya anak anak muda islam ga dicurigai melulu, ga harus di screening berkali kali kalau mau keluar negri diberi kesempatan untuk ikut konferensi internasional.


Diluar dari semua hal unik aktifitasnya adalah celotehnya  yang   hampir tak mengenal ‘etika’,  selalu apa adanya dan tak  menahan – nahan diri kalau meledek orang disekiranya, bila ada yang bicara ngawur maka dengan entengnya dia berkata : elo ganteng tapi goblog ya, atau  itu perempuan cantik cuma sayang otaknya dikit. Atau kalau dia lagi meledek kalangan liberal yang bicaranya susah dimengerti “banyak istilah rumit” : itu orang-orang udik lagi pingin dianggap jadi orang kota makanya ngomongnya ribet.
 


Selalu sehat bang Ical , saya satu dari banyak orang lain yang beruntung mengenal sosok unik  yang banyak memberi pelajaran untuk menghargai hidup  tanpa merendahkan diri dihadapan orang yang lain apa lagi bersikap oportunis demi sebuah jabatan maupun kepentingan sesaat.

Senin, 06 Januari 2014

Anda "tertinggal kereta" jauh sekali. (Jakarta Melayu Festival)


Saya menguppload video2 konser Jakarta Melayu Festival "SEROJA"  yang diadakan pada 30 Agustus di Birawa Assembly Hall Bidakara. Melalui media sosial yang setelah disunting audio dan visualnya menjadi jauh lebih bagus, dibandingkan disaat konser yg ada sedikit masalah dgn akustik ruangan.  Kemudian berbagai komentar di kemukakan dan salah satunya yang menarik datang dari seorang teman yang sedang study  di USA.

Zen Aljufri
: Kalau anda beranggapan musik Melayu masih seperti panggung dang dutan yang seronok dikampung-kampung untuk acara-acara tertentu. Anda "tertinggal kereta" jauh sekali. Di tangan Geisz Chalifah dkk, musik Melayu siap disejajarkan dengan Kitaro, Yani, Andrei Riue dan sekelasnya..!!

Jakarta Melayu Festival 2013 - Fahd Munif - Pak Pung Pak Mustafe 

http://www.youtube.com/watch?v=vsKGI2D0Thg

Ini cerita ttg cinta dan kemegahan,  sebuah gerakan budaya yang mencoba "melawan" keterkucilan,  sebuah eksotisme yang terlupakan dalam onggokan sejarah. Mendengar arrasement yang dibuat Anwar Fauzi, bersama Hendri Lamiri, Buthong dkk saya semakin optimis Jakarta  Melayu Festival tak kalah keren dari Java Jazz dll. Sudah sangat sering kita mendengar musik melayu  dibawakan dgn seadanya namun menjadi sangat berbeda musikalisasinya ketika ditangani oleh arranger muda sekelas Anwar Fauzi.


Balari lari bukannyo kijang
Pandan tajamua di muaro
Kami manari jo tari indang
paubek hati urang nan tibo..
(Link video Dindin Badindin)
http://www.youtube.com/watch?v=IdqN-B4n40s


Pak ketipak ketipung suara gendang bertalu talu.... dari melaka kenegeri pahang.. Hendri memainkan nada dalam alunan biola dan   Iyeth Bustamipun  memekik : Hendriiiiiiiiii Lamiriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii........ Sebuah kolaborasi yang dasyat.. Anwar Fauzi, Buthong, Hendri Lamiri, Nizar Ali, Iyeth Bustami dan teman2 L' Catraz. Memberikan yang terbaik selalunya menyenangkan. Dengan kwalitas musikal semacam ini saya ingin menyatakan pada dunia, kami Melayu : WE ARE THE CHAMPION.
(Link video rentak 106)
http://www.youtube.com/watch?v=5bZ64Eji8d4


Anwar Fauzi membuat Arransement Seroja..... bermula dgn Buthong memainkan Accordion, berawal dgn lambat lalu biola Hendri Lamiri menambah kesyahduan, lagu itu meningkat secara perlahan ritmenya, semakin lama semakin tinggi dan semua alat dimainkan menjadi harmoni yang luar biasa, menjelang puncak Anwar Fauzi spt memainkan emosi penonton, dia menurunkan kembali tempo musiknya, lalu kembali meningkat sampai menjelang akhir.  penyanyi diatas panggung melantunkan bait.. Sekarang bukan bermenung... zaman bermenung. Mengulang kembali dan mengulang lagi dgn tempo yang semakin tinggi. iringan musik semakin ramai ditambah dgn tabuhan Drum yg menggebu. Dan pada saat lantunan .. sekarang bukannnnnnnn bermenunngggggg zamannnn termenu.......... semua alat musik tiba tiba serentak berhenti... hanya sisa suara vokal spt roket yg melesat sendiri keudara........ Nungggggggggggggggggggggggg
bang Fahcry Muhammad (pemilik dan pendiri Smart FM) Spontan memberikan Standing Upplause....
SEROJA... Selalu dan selamanya MEMUKAU... 
 (link video Seroja)
http://www.youtube.com/watch?v=nCkYlnqpIro 



Telah jauh berkelana entah di mana
Ada rasa hanya kuntum kasihnya
Khabar itu merelakan perjalanannya
Ada jiwa hanya kuntum kasihnya

Biar panas membakar
Biar ranjau mencabar
Telah mekar hati seindah purnama

(Link video Nirmala)
http://www.youtube.com/watch?v=-9A8EjC5Dhw


Mustafa Abdullah, orang yang saya tidak pernah ragukan suaranya maupun komitmennya...... Sesulit apapun lagu yg dibawakan melalui kemahiran olah vokalnya semua menjadi mudah.
 
Dagang kemari zapin berkampung
Bersatu adat terbilang seni
Alun madali gema senandung
Sama sepakat membina janji
Mawas rebana satuan diri
Palu bersendi gambus semurna
Gegar bentala segenap negeri
Santunkan budi moilek bahasa
(link video Yasalam)
https://www.youtube.com/watch?v=jkGdDDVsR5s


Terimakasih untuk semua teman yang telah hadir dalam Jakarta Melayu Festival, semua kekurangan kami evaluasi untuk menjadi perbaikan pada JMF 2014 yg akan menghadirkan AMIGOS BAND, Shena (X Faktor) Fadli (Padi) Darmansyah dll, dgn Anwar Fauzi sbg Arranger dan semua komunitas melayu spt Kosentra Sumut dll

yang semakin solid untuk memberikan yang terbaik.

Jumat, 13 Desember 2013

Mereka Para Pejuang RS Indonesia di Ghaza.

dr Joserizal Jurnalis. Saya tidak perlu bercerita siapa orang ini, namun dalam perjalanan kehidupan, saya bersukur mengenal dan berkawan baik dgn orang spt dr Joserizal Jurnalis. Tidak selamanya satu pendapat tapi kalau saya memberi predikat Jendral maka dialah Jendral seasli aslinya.


Luly Larissa Agiel bukan pejuang perang tak ada sedikitpun dalam penampilannya menunjukkan sikap keras, selalunya berbicara dgn nada halus, simpatik dan menghargai setiap orang yg ditemuinya, tak gemar bicara di FB seolah - olah pejuang paling hebat sambil mencaci orang lain. Namun ketika ingin bepergian ke luar negri dia tak memilih Perancis tak memilih Eropa dgn segala eksotisnya, dia memilih Ghaza. sebuah negri yg menyita waktu hari2nya melangkah, bertujuan untuk berdirnya RS Indonesia. Dia ingin melihat dgn mata kepalanya sendiri Proyek mimpi itu kini nyata adanya, proyek mimpi itu terealisasi. Dan ketika kembali pulang, anak2 Ghaza mengirim foto untuk Luly bertuliskan.: Rindu senyuman mama Luly.

Rumah Sakit Indonesia di Ghaza, Proyek mimpi yang menjadi nyata, bukan membangun di daerah damai bukan membangun dgn dana yang sdh ada dan dapat bantuan pemerintah. Semuanya serba dicari tanpa satu rupiahpun dana pemerintah semua adalah sumbangan rakyat Indonesia.

Ir Faried Thalib, bukan agamawan, secara sosial kehidupannya telah selesai, makmur secara ekonomi, punya perusahaan dgn berbagai proyek, bila ingin hidup gampang, cukup bayar zakat dan membantu orang lain yg memerlukan pertolongan maka nama baik didapat dan persoalan selesai. Tapi dia memilih jalan yg terjal. Bulak balik ke Ghaza sbg Kordinator Tekhnik Pembangunan RS Indonesia. berminggu minggu tertahan di perbatasan Mesir dan Ghaza, tak pernah mengeluh apa lagi berhenti memperjuangkan mimpinya. Dia tdk membuat buku yg melist orang lain atau lembaga2 lain dgn catatan hitam, dgn penelitian yg serampangan. Faried hanya bekerja, menghibahkan tenaganya, pikirannya, hartanya juga hidupnya (nyawanya) untuk banyak orang,

Nurfitri Taher (MER C) Relawan kapal Mavi Marmara, dia ditangkap dan diborgol setelah bbrp temannya tewas tertembus peluru zionis Israel, ketika berada dalam barisan tawanan, Nurfitri bukannya menangis. Bukan tertunduk dgn rasa takut melainkan dia bernyanyi didepan para tentara Israel itu. Dia tunjukkan dirinya tidak memiliki ketakutan sedikitpun didepan moncong senjata yang mengarah pada dirinya. Nurfitri Taher (Upi), hanya wanita biasa dgn nyali yg luar biasa, bahkan sering kali bercerita hal2 yang lucu bila dalam rapat di yayasan tapi konsistensi sikapnya tak gentar didepan tentara Israel bahkan untuk kehilangan nyawa sekalipun.

Rabu, 27 November 2013

“Suara seorang relawan yang tulus mengalahkan baliho sebesar apapun!”





Assalamu'alaikum wr wb dan salam sejahtera untuk semua.

Geisz chalifah yang saya hormati,

“Suara seorang relawan yang tulus mengalahkan baliho sebesar apapun!”

Itu kalimat dari seorang relawan dalam sebuah diskusi. Lantang ia ucapkan dan menghujam. Ia mengoyak pandangan tradisional yang mengungkung kita selama ini.

Dalam minggu-minggu terakhir ini saya bertemu ribuan saudara sebangsa yang hadir di berbagai forum. Semua hadir karena sama-sama mencintai Indonesia dan ingin berbuat sesuatu. Tidak satupun hadir karena uang transport, karena kaos, karena rupiah. Silaturahmi kita tak dibangun pakai rupiah, tapi pakai idealisme dan semangat untuk memajukan Indonesia. Idealisme dan semangat perjuangan itu tak ternilai harganya. Itu yang membedakan kumpulan kita.

Semua sukarela hadir, semua sukarela berbuat. Kita semua iuran waktu, iuran tenaga, iuran uang ataupun iuran keahlian. Ini mengingatkan kita bahwa Republik ini dibangun dengan semangat gotong-royong, semua turun tangan. Kini kita bangkit-kuatkan kembali tradisi mulia itu.

Di Timur Indonesia relawan turun tangan Makassar berinisiatif mengadakan acara dari “Dari Timur Kaum Muda Turun Tangan Untuk Indonesia”. Di tempat bersejarah, Gedung Mulo Makassar, semua merasakan aura positif anak muda yang menginginkan perubahan. Ruangan itu makin hangat karena dipadati oleh ratusan anak-anak muda. Juga di sebuah warung kopi di Makassar, berkumpul relawan dengan berbagai latar belakang. Semua nyatakan siap untuk turun tangan bersama.

Ribuan kilometer jauhnya dari Makassar, teman-teman relawan di Padang, Sumatera Barat menginisiasi pertemuan relawan turun tangan. Pertemuan itu sederhana, tapi ia pancarkan misi positif untuk bersama-sama turun tangan. Dari Padang saya khusus mampir ke rumah tempat kelahiran Bung Hatta. Dari lantai atas rumah itu, lahir seorang yang mengatasi kolonialime dari Nusantara.

Bermalam di rumah teman kuliah dulu di Yogya, di Nagari Kamang dekat Bukittinggi. Duduk bersila bersama Ninik Mamak dan warga di Nagari, mendengar banyak cerita tentang heroisme Perang Kamang; heroisme yang terlupakan dalam sejarah umum Indonesia.

Dari Tanah Sumatera, saya sempat mengunjungi Ciamis, secara geografis luasnya boleh kecil tapi semangat yang ia pancarkan tak terkira besarnya. Hati saya bergetar mendengarkan para santri di Ciamis menggelorakan lagu perjuangan yang diciptakan oleh teman-teman yang siap turun tangan di Pondok itu. Saya baru pertama kali dengar dan tidak mengira akan ada lagu menggugah muncul pagi itu. Teman relawan di Solo juga membuat lagu turun tangan.

Mendengar lagu-lagu tersebut muncul lagi perasaan bahwa republik ini seperti sebuah orkestra yang masing-masing orang dapat memiliki peran di dalamnya, masing-masing kita dapat turun tangan. Ini seperti sebuah orkestra angklung. Setiap orang pegang satu angklung dan saat bergerak dengan irama yang rancak maka ia akan menggemuruh sebagai sebuah gerakan nada yang luar biasa. Semua terlibat membunyikan dan semua menikmati sepenuh hati. Itulah ilustrasi gerakan yang sedang kita bangun, bukan ratusan penonton terpesona oleh pemain di panggung tapi semua bermain dan semua menikmati orkestra.

Saya mengapresiasi apa yang telah teman-teman dan kita semua kerjakan, kita semua relawan. Pada teman-teman relawan saya melihat ikhtiar kita untuk ikut turun tangan mengurus republik ini dapat terus kita lakukan.

Seperti saya sering kutip, "Penyimpangan, kejahatan bisa terus berlangsung bukan karena banyaknya orang jahat, tapi karena orang baik memilih diam dan mendiamkan". Geisz chalifah, saya dan kita semua telah memilih untuk tidak diam dan tidak mendiamkan. Kita ingin ubah agar Republik ini jadi teladan. Dan, kita semua bisa sama-sama mengatakan bahwa kita tidak tinggal diam, kita pilih berbuat.

Hari ini saya mengingat kembali apa yang dikatakan oleh salah seorang relawan di atas, “Suara seorang relawan yang tulus mengalahkan baliho sebesar apapun!”. Merefleksikan itu kembali setelah menjalani silaturahmi bersama relawan di berbagai kota saya makin yakin bahwa ucapan itu bukan jargon kosong belaka.

Mari kita besarkan, kita kirim pesan optimis bagi semua bahwa kita tidak tinggal diam. Ini barisan perjuangan, bukan barisan parade dalam sebuah upacara yang segalanya telah serba tertata. Rute di depan bisa terjal, bisa penuh tikungan dan jurang; tapi kita memilih untuk menempuh rute perjuangan. Kita akan jalani, akan berjuang dan selalu hadapi dengan semangat tinggi.

Saya tulis catatan ini di atas kereta Api dalam perjalanan dari Purwokerto ke Yogyakarta. Ya, di lintasan kereta yang kami lewati adalah sisi cerah Indonesia: anak-anak kecil yang main di sawah, yang main sepakbola dan berenang di sungai. Di sepanjang lintasan kereta ini mereka memang belum sejahtera. Tapi mari kita ikhtiarkan bahwa anak-anak yang kini bermain dalam kecerian dan kepolosan kelak bisa tersenyum lebih lebar karena merasakan manfaat kemajuan dan mensyukuri bahwa ada generasi kakak-kakaknya yang tidak tinggal diam, yang pilih berjuang. Misi ini masih panjang, dan suara teman-teman relawanlah yang membuat misi ini akan terus bergaung, suara tulus Geisz chalifah lah yang dapat mengalahkan baliho sebesar apapun.

Selamat untuk semua. Semangat kita tetap sama: syukuri perkembangan, perbaiki kekurangan dan siap turun tangan!

Salam hangat dari lintas kereta dekat Kutoarjo,

Anies Baswedan

Kamis, 19 September 2013

Surat Anies Baswedan : Pilih Turun Tangan, Ikut Ambil Tanggung Jawab.

Assalamu’alaikum wr wb dan salam sejahtera.
Semoga email ini menemui teman-teman dalam keadaan sehat wal afiat dan makin produktif.
Saya menulis surat ini terkait dengan perkembangan baru yang datangnya amat cepat dan Saya merasa perlu untuk mengirimkan surat ini secara pribadi. Beberapa waktu yang lalu, saya diundang untuk turut konvensi. Saya diundang bukan untuk jadi pengurus partai, tetapi untuk diseleksi dan dicalonkan dalam pemilihan presiden tahun depan. Saya semakin renungkan tentang bangsa kita, tentang negeri ini.
Para pendiri Republik ini adalah kaum terdidik yang tercerahkan, berintegritas, dan berkesempatan hidup nyaman tapi mereka pilih untuk berjuang. Mereka berjuang dengan menjunjung tinggi harga diri, sebagai politisi yang negarawan. Karena itu mereka jadi keteladanan yang menggerakkan, membuat semua siap  turun tangan. Republik ini didirikan dan dipertahankan lewat gotong royong. Semua iuran untuk republik: iuran nyawa, tenaga, darah, harta dan segalanya. Mereka berjuang dengan cara terhormat karena itu mereka dapat kehormatan dalam catatan sejarah bangsa ini.
Kini makna “politik” dan “politisi” terdegradasi, bahkan sering menjadi bahan cemoohan. Tetapi di wilayah politik itulah berbagai urusan yang menyangkut negara dan bangsa ini diputuskan. Soal pangan, kesehatan, pertanian, pendidikan, perumahan, kesejahteraan dan sederet urusan rakyat lainnya yang diputuskan oleh negara. Amat banyak urusan yang kita titipkan pada negara untuk diputuskan.
Di tahun 2005, APBN kita baru sekitar 500-an triliun dan di tahun ini sudah lebih dari 1600 triliun. APBN kita lompat lebih dari tiga kali lipat dalam waktu kurang dari delapan tahun.Kemana uang iuran kita semua digunakan? Di tahun-tahun kedepan, negara ini akan mengelola uang iuran kita yang luar biasa banyaknya. Jika kita semua hanya bersedia jadi pembayar pajak yang baik, lalu siapa yang jadi pengambil keputusan atas iuran kita?
Begitu banyak urusan yang dibiayai atas IURAN kita dan atas NAMA kita semua. Ya, suka atau tidak, semua tindakan negara adalah atas nama kita semua, seluruh bangsa Indonesia. Haruskah kita semua membiarkan, hanya lipat tangan dan cuma urun angan?
Di negeri ini, lembaga dengan tata kelola yang baik dan taat pada prinsip good governancemasih amat minoritas. Mari kita lihat dengan jujur di sekeliling kita. Terlalu banyak lembaga, institusi dan individu yang masih amat mudah melanggar etika dan hukum semudah melanggar rambu-rambu lalu lintas. Haruskah kita menunggu semua lembaga itu beres dan “bersih” baru ikut turun tangan?
Jika saya tidak diundang maka saya terbebas dari tanggung-jawab untuk memilih. Tapi kenyataannya saya diundang walau tidak pernah mendaftar apalagi mengajukan diri. Dan saya menghargai Partai Demokrat karena faktanya partai ini jadi satu-satunya yang mengundang warga negara, warga non partisan. Di satu sisi, Partai Demokrat memang sedang banyak masalah dan persepsi publik juga amat rendah. Di sisi lain konvensi yang dilakukan oleh Partai Demokrat adalah mekanisme baik yang seharusnya juga ada di semua partai agar calon presiden ditentukan oleh rakyat juga.
Saya pilih untuk ikut mendorong tradisi konvensi agar partai jangan sekedar menjadi kendaraan bagi kepentingan elit partai yang sempit. Kini semua harus memperjuangkan agar konvensi yang dilaksanakan oleh Partai Demokrat ini akan terbuka, fair dan bisa diawasi publik. Saya percaya bahwa penyimpangan pada konvensi sama dengan pengurasan atas kepercayaan yang sedang menipis.
Undangan ini untuk ikut mengurusi negara yang kini sedang dihantam deretan masalah, yang hulunya adalah masalah integritas dan kepercayaan. Haruskah saya jawab, “mohon maaf saya tidak mau ikut mengurusi karena saya ingin semua bersih dulu, saya takut ini cuma akal-akalan. Saya ingin jaga citra, saya ingin jauh dari kontroversi, saya enggan dicurigai dan bisa tak populer?” Bukankah kita lelah lihat sikap tidak otentik, yang sekedar ingin populer tanpa memikirkan elemen tanggungjawab? Haruskah saya menghindar dan cari aman saja? Saya sungguh renungkan ini semua.
Saat peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agutus 2013 adalah hari-hari dimana saya harus ambil keputusan. Saat itu saya menghadiri upacara di Istana Merdeka, bukan karena saya pribadi diundang, tetapi undangan ditujukan pada ahli waris AR Baswedan, kakek kami, dan kami yang berada di Jakarta. Jadi saya dan istri hadir mewakili keluarga.
Seperti biasa bendera merah putih itu dinaikkan dengan khidmat diiringi gelora Indonesia Raya. Dahulu bendera itu naik lewat jutaan orang iuran nyawa, darah dan tenaga hingga akhirnya tegak berkibar untuk pertama kalinya. Menyaksikan bendera itu bergerak ke puncak dan berkibar dengan gagah, dada ini bergetar.
Sepanjang bendera itu dinaikkan, ingatan saya tertuju pada Alm. AR Baswedan dan para perintis kemerdekaan lainnya. Mereka hibahkan hidupnya untuk memperjuangkan agar Republik ini berdiri. Mereka berjuang “menaikkan” Sang Merah-Putih selama berpuluh tahun bukan sekedar dalam hitungan menit seperti saat upacara kini. Mereka tak pilih jalur nyaman dan aman. Mereka juga masih muda, namun tidak ada kata terlalu muda untuk turun tangan bagi bangsa. Berpikir ada yang terlalu muda, hanya akan membawa kita berpikir ada yang terlalu tua untuk turun tangan. Mereka adalah orang-orang yang mencintai bangsanya, melebihi cintanya pada dirinya.
Suatu ketika saya menerima sms dari salah satu putri Proklamator kita. Ia meneruskansms berisi Sila-Sila dalam Pancasila yang dipelesetkan misalnya “Ketuhanan Yang Maha Esa” diubah jadi “keuangan yang maha kuasa” dan seterusnya. Lalu ia tuliskan, “Bung Anies, apa sudah separah ini bangsa kita? Kasihan kakekmu dan kasihan ayahku. Yang telah berjuang tanpa memikirkan diri sendiri, akan ‘gain‘ apa.”
Kini, saat ditawarkan untuk ikut mengurusi negara maka haruskah saya tolak?  sambilberkata, mohon maaf saya ingin di zona nyaman, saya ingin terus di jalur aman ditemani tepuk tangan? Haruskah sederetan peminat kursi presiden yang sudah menggelontorkan rupiah amat besar itu dibiarkan melenggang begitu saja? Sementara kita lihat tanda-tanda yang terang benderang, di sana-sini ada saja yang menguras uang negara jadi uang keluarga, jadi uang partai, atau jadi uang kelompoknya di saat terlalu banyak anak-anak bangsa yang tidak bisa melanjutkan sekolah, sebuah “jembatan” menuju kemandirian dan kesejahteraan. Pantaskah saya berkata pada orang tua, pada kakek-nenek kita, bahwa kita tidak mau ikut berproses untuk mengurus negara karena partai belum bersih? Haruskah kita menunggu semua partai beres dan “bersih” baru ikut turun tangan?
Saya pilih ikut ambil tanggung jawab tidak cuma jadi penonton. Bagi saya pilihannya jelas,mengutuk kegelapan ini atau ikut menyalakan lilin, menyalakan cahaya. Lipat tangan atau turun tangan. Saya pilih yang kedua, saya pilih menyalakan cahaya. Saya pilih turun tangan. Di tengah deretan masalah dan goncangan yang mengempiskan optimisme, kita harus pilih untuk terus hadir mendorong optimisme. Mendorong muncul dan terangnya harapan. Ya, mungkin akan dicurigai, bisa tidak populer bahkan bisa dikecam, karena di jalur ini kita sering menyaksikan keserakahan dengan mengatasnamakan rakyat.
Tapi sekali lagi ini soal rasa tanggung-jawab atas Indonesia kita. Ini bukan soal hitung-hitungan untung-rugi, bukan soal kalkulasi rute untuk menjangkau kursi, dan bukan soal siapa diuntungkan. Saya tidak mulai dengan bicara soal logistik atau pilih-pilih jalur, tetapi saya bicara soal potret bangsa kita dan soal tanggung-jawab kita. Tentang bagaimana semangat gerakan yang jadi pijar gelora untuk merdeka itu harus dinyalaterangkan lagi. Kita semua harus merasa turut memiliki atas masalah di bangsa ini.
Ini perjuangan, maka semua harus diusahakan, diperjuangkan bukan minta serba disiapkan. Tanggung-jawab kita adalah ikut berjuang -sekecil apapun- untuk memulihkan politik sebagai jalan untuk melakukan kebaikan, melakukan perubahan dan bukan sekedar mengejar kekuasaan. Kita harus lebih takut tentang pertanggungjawaban kita pada anak-cucu dan pada Tuhan soal pilihan kita hari ini: diam atau turun tangan. Para sejarawan kelak akan menulis soal pilihan ini.
Semangat ini melampaui urusan warna, bendera dan nama partai. Ini adalah semangat untuk ikut memastikan bahwa Republik ini adalah milik kita semua dan untuk kita semua, seperti kata Bung Karno saat pidato soal Pancasila  1 Juni 1945. Tugas kita kini adalah memastikan bahwa dimanapun anak bangsa dibesarkan, di perumahan nyaman, di kampung sesak-pengap tengah kota, atau di desa seterpencil apapun, ia punya peluang yang sama untuk merasakan kemakmuran, keterdidikan, kemandirian dan kebahagiaan sebagai anak Indonesia.
Saya tidak bawa cita-cita, saya mengemban misi. Cita-cita itu untuk diraih, misi itu untuk dilaksanakan. Semangat dan misi saya adalah ikut mengembalikan janji mulia pendirian Republik ini. Sekecil apapun itu, siap untuk terlibat demi melunasi tiap Janji Kemerdekaan. Janji yang dituliskan pada Pembukaan UUD 1945: melindungi, mencerdaskan, mensejahterakan dan jadi bagian dari dunia.
Kita semua sadar bahwa satu orang tidak bisa menyelesaikan seluruh masalah. Dan cara efektif untuk melanggengkan masalah adalah dengan kita semua hanya lipat tangan danberharap ada satu orang terpilih jadi pemimpin lalu menyelesaikan seluruh masalah. Tantangan di negeri ini terlalu besar untuk diselesaikan oleh satu orang, tantangan ini harus diselesaikan lewat kerja kolosal. Jika tiap kita pilih turun tangan, siap berbuat maka perubahan akan bergulir.
Apalagi negeri ini sedang berubah. Tengok kondisi keluarga kita masing-masing. Negara ini telah memberi kita amat banyak. Sudah banyak saudara sebangsa yang padanya janji kemerdekaan itu telah terlunasi: sudah terlindungi, tersejahterakan, dan tercerdaskan. Tapi masih jauh lebih banyak saudara sebangsa yang pada mereka janji itu masih sebatas bacaan saat upacara, belum menjadi kenyataan hidup.
Di negeri ini masih ada terlalu banyak orang baik, masih amat besar kekuatan orang lurus di semua sektor. Saya temukan mereka saat berjalan ke berbagai tempat. Saat mendiskusikan undangan ini dengan anak-anak generasi baru Republik ini, saya bertemu dengan orang-orang baik yang pemberani, yang mencintai negerinya lebih dari cintanya pada citra dirinya, yang tak takut dikritik, dan selalu katakan siap turun tangan. Akankah kita yang sudah mendapatkan yang dijanjikan oleh Republik ini diam, tak mau tahu dan tak mau turun tangan? Pantaskah kita terus menerus melupakan -sambil tak minta maaf- pada saudara sebangsa yang masih jauh dari makmur dan terdidik?
Bersama teman segagasan, kami sedang membangun sebuah platformwww.turuntangan.org untuk bertukar gagasan dan bergerak bersama. Ini bukan soal meraih kursi, ini soal kita turun tangan memastikan bahwa mereka yang kelak mengatasnamakan kita adalah orang-orang yang kesehariannya memperjuangkan perbaikan nasib kita, nasib seluruh bangsa.
Teman-teman juga punya pilihan yang sama. Lihat potret bangsa ini dan bisa pilih diam tak bergerak atau pilih untuk turut memiliki atas masalah lalu siap bergerak. Beranikan diri untuk bergerak, bangkitkan semangat untuk turun tangan, dan aktif gunakan hak untuk turut menentukan arah negara. Jalur ini bisa terjal dan penuh tantangan, bisa berhasil dan bisa gagal. Tapi nyali kita tidak ciut, dada kita penuh semangat karena kita telah luruskan niat, telah tegaskan sikap. Hari ini kita berkeringat tapi kelak butiran keringat itu jadi penumbuh rasa bangga pada anak-anak kita. Biar mereka bangga bahwa kita tidak tinggal diam dan tak ikut lakukan pembiaran, kita pilih turun tangan.
Saya mendiskusikan undangan ini dengan keluarga di rumah dan dengan Ibu dan Ayah di Jogja. Mereka mengikuti dari amat dekat urusan-urusan di negeri ini. Ayah menjawab, “Jalani dan hadapi. Hidup ini memang perjuangan, ada pertarungan dan ada risiko. Maju terus dan jalani dengan lurus.” Istri mengatakan, “yang penting tetap jaga nama baik, cuma itu yang kita punya buat anak-anak kita.” Ibu mengungkapkan ada rasa khawatir menyaksikan jalur ini tapi Ibu lalu katakan, “terus jalani dengan cara-cara benar. Saya titipkan anak saya ini bukan pada siapa-siapa, bukan kita yang akan jadi pelindungnya Anies. Saya titipkan anak saya pada Allah, biarkan Allah saja yang jadi pelindungnya.”
Itu jawaban mereka. Saya camkan amat dalam sambil berdoa, Insya Allah suatu saat saya bisa kembali ke mereka dan membuat mereka bersyukur bahwa kita ikut turun tangan, mau ikut ambil tanggung-jawab –sekecil apapun itu- untuk republik ini. Ini adalah sebuah jalur yang harus dijalani dengan ketulusan yaitu kesanggupan untuk tak terbang jika dipuji dan tak tumbang jika dikiritik. Bismillah, kita masuki proses ini dengan kepala tegak, Insya Allah terus jaga diri agar keluar dengan kepala tegak. Faidza ‘Azamta Fatawakkal ‘Alallah … bulatkan niat lalu berserah pada Sang Maha Kuasa.
Semoga Allah SWT selalu meridloi perjalanan di jalur baru dari perjalanan yang sama ini dan semoga semakin banyak yang menyatakan siap untuk turun tangan bagi Republik tercinta ini.
Terima kasih dan salam hangat,
Anies Baswedan
Jakarta 4 September 2013