Senin, 01 September 2008

Geis Chalifah Membedakan Lawan Dengan Musuh Oleh Anies Baswedan.


Kata pengantar Buku Esai Esai Perubahan Budaya Arab.
Oleh DR Anies Baswedan

Geis Chalifah sedang membuka diri dan berkontemplasi tentang perubahan sosial dan budaya komunitasnya. Begitu kesan saya begitu selesai membaca manuskrip kumpulan essai karya Geis ini. Ketika Geis bercerita tentang rumah-rumah di masa lalu, ada nuansa nostalgik disana. Di dalam essai-essai ini terlihat jelas observasinya tentang transisi budaya dan sosial. Sesekali terasa penolakan terhadap perubahan; terutama saat perubahan itu disejajarkan dengan degradasi. Padahal kita tahu bahwa komunitas dan budaya itu memang pada dasarnya dinamis. Sebagian lagi diwarnai –semacam- kegerutuan dan kegemasan, terlebih ketika Geis memaparkan kemandegan pandangan kultural. Tapi, pada prinsipnya, terlihat jelas kuatnya pengaruh dan aroma nuansa pribadi Geis dalam kumpulan essai ini.

Pengetahuan, pengalaman dan persentuhan Geis dengan komunitas keturunan Arab –khususnya di Jakarta- tentu saja bersifat pribadi dan spesifik. Dan melalui kumpulan essai ini Geis memilih untuk membaginya dengan publik. Bagi pembaca yang memiliki pengalaman dan persentuhan yang mirip dengan Geis, maka kumpulan essai ini bisa menjadi reflektif sifatnya. Sebaliknya, essai ini bisa informatif –atau justru malah terasa asing- bagi pembaca yang tidak memiliki latar belakang dan konteks pengetahuan tentang masyarakat keturunan Arab.

Bagi saya sendiri yang tidak tumbuh di tengah-tengah masyarakat keturunan Arab, sebagian dari fenomena yang diilustrasikan dalam essai-essai ini terasa asing tetapi informatif. Karena itu saya memandang kumpulan essai ini merupakan keberanian Geis untuk membagi pengalaman, pengetahuan dan observasi walau sebagian berada di wilayah private.

Keberanian untuk berbagi pandangan pribadi dan kemampuan mengisolasi konflik pemikiran dari konflik pribadi mungkin memang merupakan ciri Geis. Karena itu ketika saya diminta menuliskan kata pengantar, saya merasa kumpulan essai ini tidak perlu muqaddimah, kumpulan essai ini adalah deretan narasi yang bisa berdiri sendiri. Lalu mengapa saya menuliskan kata pengantar ini? Menurut saya, essai-essai disini merupakan ungkapan perasaan dan pemikiran penulisnya yang perlu dilihat dalam konteks kemampuan mengelola perbedaan, apalagi sebagian dari essai-nya diiringi dengan gelontoran kritik. Jadi bukan isi essai-essai itu yang perlu muqaddimah tetapi keberanian untuk mengartikulasikan pengalaman pribadi dan observasi dari Geis itulah yang perlu dijelaskan serta diberi konteks melalui kata pengantar ini.

Saya kenal nama Geis Chalifah ketika saya sedang kuliah pasca sarjana di Amerika Serikat. Suatu saat ada perdebatan sengit di milis antara Geis Chalifah dengan Hamid Basyaib. Perdebatan itu terdokumentasi rapi oleh Hamid, di milis Kahmi-Pro yang dikelola oleh Ichsan Loulembah.

Dalam polemik itu Hamid Basyaib secara konfrontatif dan terang-terangan menyebutkan Geis sebagai contoh manusia inkonsisten. Dan, dengan gayanya yang khas, Hamid menebarkan kesan betapa konyolnya argumen Geis. Dalam salah satu tulisannya, sebagai contoh, Hamid menulis, ”Berbeda dari kelaziman (artinya: orang biasanya bereaksi keras terhadap kesalahan), Geis meraung-raung justru terhadap kebenaran.” Tulisan tulisan Hamid terhadap Geis itu terasa seperti tonjokan yang menyakitkan. Dan, balasan dari Geis terhadap Hamid juga tak kalah keras. Bila keduanya sudah bertempur argumen di milis, maka ratusan peserta milis itu serasa menahan nafas, menyaksikan baku tinju argumentasi mereka berdua. Mungkin sebagian merasa ngilu saat membaca argumentasi yang dikemas dengan kata-kata tajam dan menyengat. Milis terasa sepi, warganya tiarap kolektif menghindari peluru nyasar dari mereka berdua.

Hamid Basyaib adalah tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL). Pemikirannya liberal dan diartikulasikan secara lugas. Latar belakangnya di dunia jurnalistik membuat Hamid memiliki credential solid dalam soal tulis menulis. Tulisannya analitis dan tajam. Geis Chalifah adalah tokoh pemuda Al-Irsyad dan aktif sebagai Direktur Yayasan Rahmatan Lil Alamin. setelah sebelumnya aktif di HMI dan ketua Unit Kerohanian Mahasiswa Islam Jayabaya. Geis adalah seorang aktivis tulen. Ghirah perjuangan Islamnya terasa kuat dan artikulatif.

Hamid dan Geis memiliki alur pemikiran yang bersebrangan dan berbenturan. Melihat latar belakang dan garis gagasannya maka bukan hal yang aneh kalau mereka berdua sering bertumbukan dan baku serang argumentasi. Dan sudah lama mereka sering saling sengat.

Bila Hamid mengkritik Geis di depan milis, maka Geis-pun bisa menyerang dengan sengatan yang tajam. Misalnya, suatu ketika Faizal Motik baru saja berkenalan dan ngobrol dengan Hamid Basyaib. Dia lalu ketemu Geis dan menceritakan bahwa Hamid itu ternyata pribadi yang menyenangkan. Mendengar cerita itu Geis lalu berkomentar, ”yang namanya setan itu ya memang selalu menyenangkan.” Singkat dan keras. Bukan hanya itu, Geis kemudian menceritakan sendiri komentarnya ini pada Hamid. Dia tidak hanya membicarakan Hamid ”dari belakang” tapi dia sampaikan terus terang pada Hamid.

Menurut pandangan umum dan awam mereka berdua adalah musuh bebuyutan. Sewajarnya bila mereka berdua tidak bisa duduk semeja. Kebiasaan yang biasa dipraktekkan bila ada dua individu berseberangan semacam ini adalah keduanya saling tebar fitnah. Tapi inilah uniknya. Dalam keseharian yang senyatanya, Geis dan Hamid tidak bermusuhan. Ya, mereka memang berlawanan tapi mereka tidak bermusuhan. Geis melawan Hamid tapi Hamid bukan musuh Geis. Sebagai pribadi, tali silaturahmi mereka tidak putus. Sehingga dalam kesehariannya mereka sering pergi bersama, makan dan ngobrol bersama, atau mereka saling jemput untuk pergi ke pertemuan yang sama. Mereka bisa duduk berdua seperti tidak pernah baku hantam argumentasi. Dan itu bukan berarti Geis dan Hamid telah berdamai dalam urusan pendapat dan gagasan. Sampai sekarangpun mereka masih konsisten untuk saling sengat dan baku hantam argumentasi.

Bagi kebanyakan umat Islam dan umumnya masyarakat di Indonesia, fenomena macam ini adalah fenomena yang jarang ada. Umumnya perbedaan itu diasosiasikan dengan permusuhan. Permusuhan lalu dibesarkan, disuburkan dan dilanggengkan dengan mengubur fakta dan membangun fitnah. Lawan hampir selalu dianggap musuh. Geis dan Hamid membuktikan bahwa lawan bisa tetap teman dan tidak harus jadi musuh.

Dalam konteks untuk membangun kemampuan dan kemauan berbeda pendapat secara dewasa maka kumpulan essai karya Geis ini perlu dipahami. Sebagian dari essai di buku ini mungkin akan menimbulkan perdebatan. Sebagian analisa dalam esai-esai ini terasa simplistik dan tidak tuntas. Saya sendiri tidak selalu setuju dengan analisa dan deskripsi yang ditulis oleh Geis di buku ini. Tetapi karena buku ini adalah kumpulan essai ekspresi pribadi, bukan buku analisa transformasi sosial yang dibedah secara teoretis dari perspektif sosiologis dan antropologis, maka essai-essai Geis ini terbebas dari tuntutan agar tampil teoretis, komprehensif, analitis dan mendalam. Buku ini adalah kumpulan essai pribadi yang secara ringan dan santai membawa pembacanya untuk reflektif.

Meski begitu bila ada yang akan memperdebatkan maka biarlah perdebatan itu muncul. Hangatnya perdebatan sering bisa mencerdaskan asal diiringi dengan kemauan dan kemampuan untuk mengelola perbedaan pandangan. Dalam konteks kemampuan mengelola perbedaan inilah kita bisa menghargai langkah Geis Chalifah untuk menceritakan observasinya, pengalamannya dan pandangannya melalui kumpulan essai. Mudah-mudahan, kumpulan essai ini bisa merangsang observasi lain dan perdebatan baru yang menarik dan mencerdaskan. Selamat membaca

http://kolomkalam.kerincikab.go.id/read/kolom/144/membedakan.lawan.dengan.musuh.html