Assalamu’alaikum wr wb dan salam sejahtera.
Semoga email ini menemui teman-teman dalam keadaan sehat wal afiat dan makin produktif.
Saya
menulis surat ini terkait dengan perkembangan baru yang datangnya amat
cepat dan Saya merasa perlu untuk mengirimkan surat ini secara pribadi. Beberapa
waktu yang lalu, saya diundang untuk turut konvensi. Saya diundang
bukan untuk jadi pengurus partai, tetapi untuk diseleksi dan dicalonkan
dalam pemilihan presiden tahun depan. Saya semakin renungkan tentang
bangsa kita, tentang negeri ini.
Para
pendiri Republik ini adalah kaum terdidik yang tercerahkan,
berintegritas, dan berkesempatan hidup nyaman tapi mereka pilih untuk
berjuang. Mereka berjuang dengan menjunjung tinggi harga diri, sebagai
politisi yang negarawan. Karena itu mereka jadi keteladanan yang
menggerakkan, membuat semua siap turun tangan. Republik ini didirikan
dan dipertahankan lewat gotong royong. Semua iuran untuk republik: iuran
nyawa, tenaga, darah, harta dan segalanya. Mereka berjuang dengan cara
terhormat karena itu mereka dapat kehormatan dalam catatan sejarah
bangsa ini.
Kini
makna “politik” dan “politisi” terdegradasi, bahkan sering menjadi
bahan cemoohan. Tetapi di wilayah politik itulah berbagai urusan yang
menyangkut negara dan bangsa ini diputuskan. Soal pangan, kesehatan,
pertanian, pendidikan, perumahan, kesejahteraan dan sederet urusan
rakyat lainnya yang diputuskan oleh negara. Amat banyak urusan yang kita
titipkan pada negara untuk diputuskan.
Di
tahun 2005, APBN kita baru sekitar 500-an triliun dan di tahun ini
sudah lebih dari 1600 triliun. APBN kita lompat lebih dari tiga kali
lipat dalam waktu kurang dari delapan tahun.Kemana uang iuran kita semua
digunakan? Di tahun-tahun kedepan, negara ini akan mengelola uang iuran
kita yang luar biasa banyaknya. Jika kita semua hanya bersedia jadi
pembayar pajak yang baik, lalu siapa yang jadi pengambil keputusan atas
iuran kita?
Begitu
banyak urusan yang dibiayai atas IURAN kita dan atas NAMA kita semua.
Ya, suka atau tidak, semua tindakan negara adalah atas nama kita semua,
seluruh bangsa Indonesia. Haruskah kita semua membiarkan, hanya lipat
tangan dan cuma urun angan?
Di negeri ini, lembaga dengan tata kelola yang baik dan taat pada prinsip good governancemasih
amat minoritas. Mari kita lihat dengan jujur di sekeliling kita.
Terlalu banyak lembaga, institusi dan individu yang masih amat mudah
melanggar etika dan hukum semudah melanggar rambu-rambu lalu lintas.
Haruskah kita menunggu semua lembaga itu beres dan “bersih” baru ikut
turun tangan?
Jika
saya tidak diundang maka saya terbebas dari tanggung-jawab untuk
memilih. Tapi kenyataannya saya diundang walau tidak pernah mendaftar
apalagi mengajukan diri. Dan saya menghargai Partai Demokrat karena
faktanya partai ini jadi satu-satunya yang mengundang warga negara,
warga non partisan. Di satu sisi, Partai Demokrat memang sedang banyak
masalah dan persepsi publik juga amat rendah. Di sisi lain konvensi yang
dilakukan oleh Partai Demokrat adalah mekanisme baik yang seharusnya
juga ada di semua partai agar calon presiden ditentukan oleh
rakyat juga.
Saya
pilih untuk ikut mendorong tradisi konvensi agar partai jangan sekedar
menjadi kendaraan bagi kepentingan elit partai yang sempit. Kini semua
harus memperjuangkan agar konvensi yang dilaksanakan oleh Partai
Demokrat ini akan terbuka, fair
dan bisa diawasi publik. Saya percaya bahwa penyimpangan pada konvensi
sama dengan pengurasan atas kepercayaan yang sedang menipis.
Undangan ini untuk
ikut mengurusi negara yang kini sedang dihantam deretan masalah, yang
hulunya adalah masalah integritas dan kepercayaan. Haruskah saya jawab,
“mohon maaf saya tidak mau ikut mengurusi karena saya ingin semua bersih
dulu, saya takut ini cuma akal-akalan. Saya ingin jaga citra, saya
ingin jauh dari kontroversi, saya enggan dicurigai dan bisa tak
populer?” Bukankah kita lelah lihat sikap tidak otentik, yang sekedar
ingin populer tanpa memikirkan elemen tanggungjawab? Haruskah saya
menghindar dan cari aman saja? Saya sungguh renungkan ini semua.
Saat
peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agutus 2013 adalah hari-hari dimana saya
harus ambil keputusan. Saat itu saya menghadiri upacara di Istana
Merdeka, bukan karena saya pribadi diundang, tetapi undangan ditujukan
pada ahli waris AR Baswedan, kakek kami, dan kami yang berada di Jakarta. Jadi saya dan istri hadir mewakili keluarga.
Seperti
biasa bendera merah putih itu dinaikkan dengan khidmat diiringi gelora
Indonesia Raya. Dahulu bendera itu naik lewat jutaan orang iuran nyawa,
darah dan tenaga hingga akhirnya tegak berkibar untuk pertama
kalinya. Menyaksikan bendera itu bergerak ke puncak dan berkibar dengan
gagah, dada ini bergetar.
Sepanjang bendera itu dinaikkan, ingatan saya tertuju pada Alm. AR Baswedan
dan para perintis kemerdekaan lainnya. Mereka hibahkan hidupnya untuk
memperjuangkan agar Republik ini berdiri. Mereka berjuang “menaikkan”
Sang Merah-Putih selama berpuluh tahun bukan sekedar dalam hitungan
menit seperti saat upacara kini. Mereka tak pilih jalur nyaman dan aman.
Mereka juga masih muda, namun tidak ada kata terlalu muda untuk turun
tangan bagi bangsa. Berpikir ada yang terlalu muda, hanya akan membawa
kita berpikir ada yang terlalu tua untuk turun tangan. Mereka adalah
orang-orang yang mencintai bangsanya, melebihi cintanya pada dirinya.
Suatu ketika saya menerima sms dari salah satu putri Proklamator kita. Ia meneruskansms berisi Sila-Sila dalam Pancasila yang dipelesetkan
misalnya “Ketuhanan Yang Maha Esa” diubah jadi “keuangan yang maha
kuasa” dan seterusnya. Lalu ia tuliskan, “Bung Anies, apa sudah separah
ini bangsa kita? Kasihan kakekmu dan kasihan ayahku. Yang telah berjuang
tanpa memikirkan diri sendiri, akan ‘gain‘ apa.”
Kini,
saat ditawarkan untuk ikut mengurusi negara maka haruskah saya tolak?
sambilberkata, mohon maaf saya ingin di zona nyaman, saya ingin terus
di jalur aman ditemani tepuk tangan? Haruskah sederetan peminat kursi
presiden yang sudah menggelontorkan rupiah amat besar itu dibiarkan
melenggang begitu saja? Sementara kita lihat tanda-tanda yang terang
benderang, di sana-sini ada saja yang menguras uang negara jadi uang
keluarga, jadi uang partai, atau jadi uang kelompoknya di saat terlalu
banyak anak-anak bangsa yang tidak bisa melanjutkan sekolah, sebuah
“jembatan” menuju kemandirian dan kesejahteraan. Pantaskah saya berkata
pada orang tua, pada kakek-nenek kita, bahwa kita tidak mau ikut
berproses untuk mengurus negara karena partai belum bersih? Haruskah
kita menunggu semua partai beres dan “bersih” baru ikut turun tangan?
Saya
pilih ikut ambil tanggung jawab tidak cuma jadi penonton. Bagi saya
pilihannya jelas,mengutuk kegelapan ini atau ikut menyalakan lilin,
menyalakan cahaya. Lipat tangan atau turun tangan. Saya pilih yang
kedua, saya pilih menyalakan cahaya. Saya pilih turun tangan. Di tengah
deretan masalah dan goncangan yang mengempiskan optimisme, kita harus
pilih untuk terus hadir mendorong optimisme. Mendorong muncul dan
terangnya harapan. Ya, mungkin akan dicurigai, bisa tidak populer bahkan
bisa dikecam, karena di jalur ini kita sering menyaksikan keserakahan
dengan mengatasnamakan rakyat.
Tapi
sekali lagi ini soal rasa tanggung-jawab atas Indonesia kita. Ini bukan
soal hitung-hitungan untung-rugi, bukan soal kalkulasi rute untuk
menjangkau kursi, dan bukan soal siapa diuntungkan. Saya tidak mulai
dengan bicara soal logistik atau pilih-pilih jalur, tetapi saya bicara
soal potret bangsa kita dan soal tanggung-jawab kita. Tentang bagaimana
semangat gerakan yang jadi pijar gelora untuk merdeka itu harus
dinyalaterangkan lagi. Kita semua harus merasa turut memiliki atas
masalah di bangsa ini.
Ini
perjuangan, maka semua harus diusahakan, diperjuangkan bukan minta
serba disiapkan. Tanggung-jawab kita adalah ikut berjuang -sekecil
apapun- untuk memulihkan politik sebagai jalan untuk melakukan kebaikan,
melakukan perubahan dan bukan sekedar mengejar kekuasaan. Kita harus
lebih takut tentang pertanggungjawaban kita pada anak-cucu dan pada
Tuhan soal pilihan kita hari ini: diam atau turun tangan. Para sejarawan
kelak akan menulis soal pilihan ini.
Semangat
ini melampaui urusan warna, bendera dan nama partai. Ini adalah
semangat untuk ikut memastikan bahwa Republik ini adalah milik kita
semua dan untuk kita semua, seperti kata Bung Karno saat pidato soal
Pancasila 1 Juni 1945. Tugas kita kini adalah memastikan bahwa
dimanapun anak bangsa dibesarkan, di perumahan nyaman, di kampung
sesak-pengap tengah kota, atau di desa seterpencil apapun, ia punya
peluang yang sama untuk merasakan kemakmuran, keterdidikan, kemandirian
dan kebahagiaan sebagai anak Indonesia.
Saya
tidak bawa cita-cita, saya mengemban misi. Cita-cita itu untuk diraih,
misi itu untuk dilaksanakan. Semangat dan misi saya adalah ikut
mengembalikan janji mulia pendirian Republik ini. Sekecil apapun itu,
siap untuk terlibat demi melunasi tiap Janji Kemerdekaan. Janji yang
dituliskan pada Pembukaan UUD 1945: melindungi, mencerdaskan,
mensejahterakan dan jadi bagian dari dunia.
Kita
semua sadar bahwa satu orang tidak bisa menyelesaikan seluruh masalah.
Dan cara efektif untuk melanggengkan masalah adalah dengan kita semua
hanya lipat tangan danberharap ada satu orang terpilih jadi pemimpin
lalu menyelesaikan seluruh masalah. Tantangan di negeri ini terlalu
besar untuk diselesaikan oleh satu orang, tantangan ini harus
diselesaikan lewat kerja kolosal. Jika tiap kita pilih turun tangan,
siap berbuat maka perubahan akan bergulir.
Apalagi
negeri ini sedang berubah. Tengok kondisi keluarga kita masing-masing.
Negara ini telah memberi kita amat banyak. Sudah banyak saudara sebangsa
yang padanya janji kemerdekaan itu telah terlunasi: sudah terlindungi,
tersejahterakan, dan tercerdaskan. Tapi masih jauh lebih banyak saudara
sebangsa yang pada mereka janji itu masih sebatas bacaan saat upacara,
belum menjadi kenyataan hidup.
Di
negeri ini masih ada terlalu banyak orang baik, masih amat besar
kekuatan orang lurus di semua sektor. Saya temukan mereka saat berjalan
ke berbagai tempat. Saat mendiskusikan undangan ini dengan anak-anak
generasi baru Republik ini, saya bertemu dengan orang-orang baik yang
pemberani, yang mencintai negerinya lebih dari cintanya pada citra
dirinya, yang tak takut dikritik, dan selalu katakan siap turun tangan.
Akankah kita yang sudah mendapatkan yang dijanjikan oleh Republik ini
diam, tak mau tahu dan tak mau turun tangan? Pantaskah kita terus
menerus melupakan -sambil tak minta maaf- pada saudara sebangsa yang
masih jauh dari makmur dan terdidik?
Bersama teman segagasan, kami sedang membangun sebuah platformwww.turuntangan.org
untuk bertukar gagasan dan bergerak bersama. Ini bukan soal meraih
kursi, ini soal kita turun tangan memastikan bahwa mereka yang kelak
mengatasnamakan kita adalah orang-orang yang kesehariannya
memperjuangkan perbaikan nasib kita, nasib seluruh bangsa.
Teman-teman
juga punya pilihan yang sama. Lihat potret bangsa ini dan bisa pilih
diam tak bergerak atau pilih untuk turut memiliki atas masalah lalu siap
bergerak. Beranikan diri untuk bergerak, bangkitkan semangat untuk
turun tangan, dan aktif gunakan hak untuk turut menentukan arah negara.
Jalur ini bisa terjal dan penuh tantangan, bisa berhasil dan bisa gagal.
Tapi nyali kita tidak ciut, dada kita penuh semangat karena kita telah
luruskan niat, telah tegaskan sikap. Hari ini kita berkeringat tapi
kelak butiran keringat itu jadi penumbuh rasa bangga pada anak-anak
kita. Biar mereka bangga bahwa kita tidak tinggal diam dan tak ikut
lakukan pembiaran, kita pilih turun tangan.
Saya
mendiskusikan undangan ini dengan keluarga di rumah dan dengan Ibu dan
Ayah di Jogja. Mereka mengikuti dari amat dekat urusan-urusan di negeri
ini. Ayah menjawab, “Jalani dan hadapi. Hidup ini memang perjuangan, ada
pertarungan dan ada risiko. Maju terus dan jalani dengan lurus.” Istri
mengatakan, “yang penting tetap jaga nama baik, cuma itu yang kita punya
buat anak-anak kita.” Ibu mengungkapkan ada rasa khawatir menyaksikan
jalur ini tapi Ibu lalu katakan, “terus jalani dengan cara-cara benar.
Saya titipkan anak saya ini bukan pada siapa-siapa, bukan kita yang akan
jadi pelindungnya Anies. Saya titipkan anak saya pada Allah, biarkan
Allah saja yang jadi pelindungnya.”
Itu
jawaban mereka. Saya camkan amat dalam sambil berdoa, Insya Allah suatu
saat saya bisa kembali ke mereka dan membuat mereka bersyukur bahwa
kita ikut turun tangan, mau ikut ambil tanggung-jawab –sekecil apapun
itu- untuk republik ini. Ini adalah sebuah jalur yang harus dijalani
dengan ketulusan yaitu kesanggupan untuk tak terbang jika dipuji dan tak
tumbang jika dikiritik. Bismillah, kita masuki proses ini dengan kepala
tegak, Insya Allah terus jaga diri agar keluar dengan kepala
tegak. Faidza ‘Azamta Fatawakkal ‘Alallah … bulatkan niat lalu berserah
pada Sang Maha Kuasa.
Semoga
Allah SWT selalu meridloi perjalanan di jalur baru dari perjalanan yang
sama ini dan semoga semakin banyak yang menyatakan siap untuk turun
tangan bagi Republik tercinta ini.
Terima kasih dan salam hangat,
Anies Baswedan
Jakarta 4 September 2013