Senin, 15 Mei 2006

Islam dan Mistikisme TV.

Indo Pos.

Maraknya sinetron mistiki di berbagai stasiun televisi tanah air belakangan ini, mengingatkan pada kisah paradoksal antara si Karma dan si Sholeh, yang bagi generasi yang lahir di tahun 1960-an, amat populer dan amat mempengaruhi pemikiran anak-anak. Cerita yang dimuat di majalah anak-anak tersebut, menampilkan karakter si Karma yang jahat, dan akibatnya ia digambarkan masuk neraka, sementara si Sholeh yang berperilaku baik masuk surga.

Cerita tersebut sebenarnya sederhana, namun karena digambarkan dengan visualisasi yang dramatis tentang neraka bagi si Karma, maka bahkan sampai saat ini bagi sebagian orang yang membaca cerita itu, meninggalkan kesan kuat, bahwa siksa api neraka itu demikian pedihnya. Cerita tersebut setidaknya ”telah berhasil” membangun kesadaran bahwa perbuatan baik dan jahat akan mengalami balasan di akherat kelak. Dengan pendekatan yang tepat untuk konsumsi anak anak, majalah tersebut, ”berhasil” membangun kesadaran dan memberi pesan kuat pada alam bawah sadar anak-anak, dan terus melekat pada ingatan mereka hingga dewasa.

Hakekat Agama
Ilustrasi tentang si Karma dan si Sholeh di atas, merupakan ungkapan paling mudah dicerna oleh, khususnya anak-anak, bahwa memang agama pada hakekatnya memberikan pesan penting untuk melakukan perbuatan baik pada pemeluknya. Dalam konsep agama samawi dikenal konsepsi neraka, yang merupakan sanksi pada manusia dalam menjalankan kehidupan keduniaan, dan balasannya setelah kematian akibat perbuatan dosa yang dilakukan. Sebaliknya juga ada konsepsi surga, yang merupakan harapan bagi kehidupan di akherat sebagai balasan dari perbuatan baik yang dilakukan.

Sisi lain bila kita menelisik dalam konsepsi Islam, maka Islam tidak hanya mengatur perbuatan baik dan buruk, tapi juga memberikan bukti-bukti ilmiah keberadaan Allah. Al qur’an juga memberikan ruang untuk pada konsepsi-konsepsi yang rasional. Pendekatan rasional ilmiah yang menempatkan akal manusia sebagai salah satu unsur penting, merupakan salah satu pendekatan utama dalam memahami konsep Islam.

Menempatkan Islam sebagai agama yang rasional adalah suatu pemahaman yang dimahfumi oleh semua pemeluknya. Bahkan seringkali Al qur’an mengingatkan manusia untuk berfikir, afala ta’kilun, afala tafakarun, dan seterusnya. Oleh karena itu, pemahaman mistik dalam Islam seringkali dianggap sesuatu yang salah, karena bertentangan dengan akal manusia, walaupun Islam tidak sepenuhnya melarang. Ruang alam ghaib sebagian juga terbuka untuk dipelajari pemeluknya seperti, keberadaan, sifat, dan perilaku dari malaikat maupun Jin. Konteks alam ghaib, dengan demikian, dimaksudkan lebih memberikan pemahaman akan adanya mahluk lain selain manusia, yang juga diciptakan oleh sang Khlalik

Selera Pasar
Dalam konteks pemikiran di atas maka, membanjirnya sinetron televisi yang banyak menyuguhkan ke-ghaib-an berupa misalnya siksa kubur, maupun penderitaan manusia yang berkelakuan jahat diakhir hayatnya, telah memberikan kesan seolah-olah Islam adalah agama yang dipenuhi oleh pemahaman mistik (an sich). Sinetron mistikisme tersebut, memang dipenuhi oleh nasehat-nasehat agar manusia (pemirsa televisi sekalian) untuk berbuat baik. Tetapi, dalam perkembangannya, tidak dapat dilepaskan dari konteks ”persaingan komersial”, sehingga, akibatnya yang mengedepan adalah suguhan adegan-demi adegan yang over valued, karena terlampau didramatisasi.

Kecendrungan untuk berpegang pada selera pasar yang tidak lagi mengedepankan rasio manusia, terutama kalangan pemeluk agama ini, bagaimanapun telah menunjukkan adanya ”perilaku yang salah” baik oleh penulis skenario, produser, maupun media televisi itu sendiri. Mengapa demikian? Karena mereka sengaja memproduksinya, tanpa menyaring kelayakannya sebagai sebuah suguhan. Contoh semacam ini sangatlah banyak, seperti tangan yang keluar dari kuburan, ular besar yang menyerang mayit, jenazah yang tidak bisa dikuburkan dan terbakar habis di sisi kuburan. Visualisasi semacam ini bukan hanya tidak masuk akal, namun juga menjadi teror bagi anak-anak yang menontonnya.

Dakwah yang Rasional
Sinetron yang bertujuan dakwah sebenarnya sangat penting, terutama di tengah degradasi moral masyarakat yang semakin memurukkan, baik dari akidah maupun akhlak dalam segala dimensinya. Namun demikian, kecendrungan ini haruslah memberi pemahaman yang benar terhadap Islam, bukan sekedar menyuguhkan tayangan yang ”membangun ketakutan pada manusia” dan Islam seolah-olah merupakan suatu agama yang dipenuhi oleh misteri dan mistik.

Dominannya suguhan mistik yang secara verbal divisualisai dalam tayangan layar kaca, secara langsung maupun tidak membawa umat pada pemahaman yang terbelakang, dan mengarah pada pembodohan akal sehat manusia. Di masyarakat serba permisif seperti ini, sebuah tayangan bersifat dakwah, seringkali menjadi acuan bagi para pemirsanya untuk menerima secara bulat apa yang dilihatnya. Apalagi, dalam berbagai tayangan seperti itu, selalu terdapat figur seorang ustadz yang solah-olah amat memahami Islam, dan otomatis akan memberi pembenaran pada pemirsa, bahwa hal-hal demikian memang intisari dalam ajaran Islam. Pendekatan ini tentunya tidak mengena, dan justru berdampak negatif pada citra Islam itu sendiri.

Memahami Al qur’an (Islam) seharusnya bukan dengan ketakutan, tapi dengan ketaatan melalui kesadaran pikiran maupun hati, sekaligus pemahaman yang total terhadap pentingnya agama untuk membimbing manusia dalam kehidupan keduniaan. Allah SWT sang Khaliq raja dari segala alam raya ini, bukanlah untuk ditakuti oleh pemeluknya, tapi untuk dicintai. Keesaan Allah yang tertuang dalam Al qur’an memberi makna bahwa manusia diberikan kebebasan untuk memilih, apakah menerima atau menolak keberadaan sang pencipta, dengan berbagai konsekuensi logisnya. Kebebasan memilih ini pun relevan dengan rasionalitas manusia, yang dapat berkehendak melalui pikirannya. Ketataatan melalui pemahaman pikiran inilah, yang seharusnya menjadi acuan oleh segenap juru dakwah baik dakwah lisan, tulisan, maupun visual.

Ketakutan pada neraka dan keinginan untuk masuk surga, seringkali menjadi acuan dakwah. Hal ini juga telah mendasari penulis skenario untuk menunjukkan hukuman Allah pada makhluknya. Walaupun cara berpikir seperti ini ”tidak menyalahi aturan”, namun bukanlah hakekat yang paling tinggi nilainya. Karena nilai tertinggi manusia Islam dalam beribadah adalah untuk mendapat ridho Allah SWT, bukan sekedar surga yang memang ciptaan-Nya jua.

Berbagai kasus yang menunjukkan hukuman Allah dan dilihat oleh manusia sekitarnya dapat saja terjadi, terutama pada manusia yang dalam hidupnya berkelakuan tak manusiawi dan menyengsarakan orang lain. Tak jarang hukuman ini mengena di akhir hayatnya. Akan tetapi visualisasi yang terus-menerus akan memberikan dampak lain bagi masyarakat.

Seorang anak manusia yang meninggal dalam keadaan sakit lever, maka hal yang wajar bila wajahnya mengalami kehitaman, dan hal demikian secara ilmiah oleh ilmu kedokteran dapat dipahami sebagai efek dari penyakit hati tersebut. Namun, mungkin saja tidak demikian bagi tetangga atau kerabat yang sempat melihat jenazah tersebut. Akibat tayangan sinetron yang mendramatisir kematian sedemikian rupa, maka kematian dengan wajah demikian, ironisnya, dianggap sebagai hukuman Allah atas perilakunya di dunia. Situasi demikian tentunya memberikan citra tertentu pada keluarga yang ditinggalkan dan kelak akan mencari-cari apa kesalahan anggota keluarganya itu, hingga mengalami hal demikian.

Demikian pula bagi manusia yang mengidap penyakit kanker, seringkali di akhir hayatnya mengalami kesakitan yang luar biasa, dan sekali lagi dalam dunia medis situasi itu adalah hal yang sangat normal. Namun, tidak demikian bagi kerabat yang yang mengalaminya. Dampak ikutan seperti ini, tentunya juga perlu dipikirkan matang matang oleh para sineas kita.

Sudah waktunya bagi para sineas maupun da’i yang ingin mengembangkan dakwah lewat audio visual, untuk memberikan pemahaman yang lebih rasional, mendidik, dan memberi kesadaran kemanusiaan baik hati maupun pikiran, tanpa mengabaikan nilai ekonomis produsernya. Wallahua’lam